Rabu, 14 Januari 2015

PENYELESAIAN SENGKETA TANAH BERBASIS KEARIFAN LOKAL DI DESA KALEMBU NDARA MANE SBD



BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Tanah adalah salah satu kebutuhan mendasar bagi keberlangsungan hidup manusia di muka bumi. Manusia hidup serta melakukan berbagai kegiatan di atas tanah sehingga setiap saat manusia selalu berhubungan dengan tanah dan dapat dikatakan hampir semua kegiatan hidup manusia baik secara langsung maupun tidak langsung selalu memerlukan tanah seperti bertani atau berkebun, mendirikan bangunan, dan bahkan pada saat manusia meninggal duniapun masih memerlukan tanah untuk tempat makamnya.
Sunindhia dan Ninikwidayanti (1988:1) menyatakan bahwa tanah mempunyai posisi yang strategis dalam kehidupan masyarakat indonesia yang bersifat agraris.
Begitu pentingnya tanah bagi kehidupan manusia, maka setiap individu atau kelompok akan selalu berusaha memiliki dan menguasainya 
sehingga sangat membutuhkan perhatian khusus dari pemerintah agar tidak terjadi masalah atau sengketa. Namun dalam kenyataannya, salah satu pokok yang hingga kini belum mendapat pengaturan yang tuntas adalah masalah tanah hal ini terbukti banyaknya masalah tanah yang muncul dimana-mana, baik sengketa tanah, penggurusan tanah, pembebasan tanah yang tidak tuntas, pendudukan secara liar tanah milik orang dan lain- lain. Sengketa tanah merupakan salah satu sengketa yang membutuhkan perhatian serius dari berbagai pihak terutama pemerintah. Berbagai upaya penyelesaian sengketa tanah melalui badan peradilan negara telah ditempuh tetapi belum tentu menyelesaikan sengketa tanah yang terjadi. Walaupun sengketa yang ada telah dinyatakan selesai di pengadilan tetapi masih ada konflik - konflik  yang terjadi antara pihak – pihak yang bersngkutan. Konflik biasanya berawal dari beberapa faktor seperti  proses pencarian keadilan melalui lembaga peradilan negara selalu berakhir dengan kekecewaan, biaya yang mahal, dan proses yang panjang dan berbelit-belit. Indikatornya adalah putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum pasti/tetap tidak dapat dieksekusi sebab ditolak oleh masyarakat, ada kantor pengadilan yang dibakar, jaksa yang diseret di jalan-jalan, hakim yang ditikam dalam ruang pengadilan dan banyak anggota masyarakat mencari jalan lain untuk menyelesaikan sengketa mereka, misalnya menghakimi sendiri. Upaya menghakimi sendiri misalnya, perkelahian massal, pembunuhan, perang antar suku, kampung, bahkan antar Desa. Ini berarti bahwa penyelesaian sengketa dengan cara demikian tidak menyelesaikan masalah secara tuntas. Dampaknya adalah pembangunan terhambat, kepercayaan masyarakat kepada lembaga peradilan negara berkurang dan harmoni sosial terganggu, karena antar pihak ini saling curiga. Ini menunjukkan penciptaan keadilan  tidak  hanya  menjadi  tanggung  jawab  negara secara eksklusif.
Mengingat bahwa Indonesia adalah negara yang kaya akan budaya dan adat istiadat pada daerah masing-masing, penyelesaian sengketa tanah lebih tepat jika menggunakan model - model penyelesaian yang disesuaikan dengan kondisi wilayah serta budaya setempat. Penyelesaian sengketa tanah  tersebut dilakukan atas inisiatif penuh dari masyarakat yang masih memegang teguh adat lokal serta sadar akan pentingnya budaya lokal dalam menjaga dan menjamin keutuhan masyarakat.
Perubahan adalah keniscayaan dalam kehidupan manusia. Perubahan-perubahan yang terjadi bukan saja berhubungan dengan lingkungan fisik, tetapi juga dengan budaya manusia. Hubungan erat antara manusia dan lingkungan kehidupan fisiknya itulah yang melahirkan budaya manusia. Budaya lahir karena kemampuan manusia mensiasati lingkungan hidupnya agar tetap layak untuk ditinggali waktu demi waktu. Kebudayaan dipandang sebagai manifestasi kehidupan setiap orang atau kelompok orang yang selalu mengubah alam. Kebudayaan merupakan usaha manusia, perjuangan setiap orang atau kelompok dalam menentukan hari depannya.
Kebudayaan merupakan aktivitas yang dapat diarahkan dan direncanakan (Van Peursen, 1976:10-11). Oleh sebab itu dituntut adanya kemampuan, kreativitas, dan penemuan - penemuan baru. Manusia tidak hanya membiarkan diri dalam kehidupan lama melainkan dituntut mencari jalan baru dalam mencapai kehidupan yang lebih manusiawi. Dasar dan arah yang  dituju dalam perencanaan kebudayaan adalah manusia sendiri sehingga humanisasi menjadi kerangka dasar dalam strategi kebudayaan(Moertopo1978:12).
Dalam perspektif di atas, realitas yang sebenarnya adalah masa kini (present) dengan segala permasalahan yang dihadapkan kepada manusia di dalam lingkungan hidupnya. Masa kini sebagai realitas adalah hasil interaksi antara manusia dengan lingkungannya.  Bila perubahan lingkungan fisik membuat manusia harus mensiasatinya dan melahirkan budaya  budaya yang terus menerus disesuaikan, maka perubaha – perubahan budaya itu juga mesti disiasati demi keberlangsungan hidup manusia. Dengan pengakuan terhadap perubahan sebagai keniscayaan dan kemampuan manusia mensiasati lingkungan dan budayanya, maka kearifan lokal (local wisdom) bisa mendapatkan tempatnya sebagai bagian dari siasat kebudayaan itu.
Kearifan lokal adalah sumber kesadaran hukum. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meski pun berasal dari daerah lokal tetapi nilai – nilai yang terkandung di dalamnya sangat universal yang dipahami sebagai gagasan - gagasan, nilai - nilai, pandangan - pandangan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya sehingga walaupun pemahaman modern selalu mengandalkan hukum formal dan menganggap kearifan - kearifan lokal hanya alternatif tetapi sebagian besar masyarakat desa menggunakan kerifan lokal karena mnurut mereka Kearifan lokal dipercaya oleh masyarakat cara yang efektif sebagai langkah penyelesaian sengketa tanah yang terjadi diantara mereka tanpa harus mengeluarkan biaya yang banyak  dan tentunya lebih mengedepankan dan menjunjung tinggi nilai – nilai budaya yang ada dalam masyarakat.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka peneliti merasa perlu melakukan penelitian tentang penyelesaian sengketa tanah berbasis kearifan lokal di Desa Kalembu Ndara Mane, Kecamatan Wewewa Timur, Kabupaten Sumba Barat Daya.
B.     RUMUSAN MASALAH
Perumusan masalah merupakan penjelasan mengenai alasan mengapa masalah yang dikemukakan dalam penelitian itu dipandang menarik, penting dan perlu untuk diteliti. Perumusan masalah juga merupakan suatu usaha yang menyatakan pertanyaan - pertanyaan penelitian apa saja yang perlu dijawab atau dicari pemecahannya. Berdasarkan uraian tersebut di atas maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana Cara  penyelesaian sengketa tanah berbasis kearifan lokal di Desa Kalembu Ndara Mane, Kecamatan Wewewa Timur, Kabupaten Sumba Barat Daya ”.
C.    TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
1. Tujuan
Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu: Untuk dapat mengetahui dan memahami bagaimana cara penyelesaian sengketa tanah  berbasis kearifan lokal kearifan lokal.
2.    Manfaat penelitian
a.    Sebagai bahan dan sumber informasi bagi peneliti lainya agar menambah wawasan Sebagai sumbangan pemikiran bagi Universitas Nusa Cendana Kupang  khususnya program studi PPKn tentang penyelesaian sengketa tanah berbasis kearifan lokal
b.    Manfaat bagi peneliti yaitu Sebagai suatu sarana pengembangan ilmu pengetahuan tentang penyelesaian sengketa tanah berbasis kearifan lokal.
c.    Sebagai sumbangan pemikiran dan bahan masukan bagi pemerintah, khususnya Badan Peradilan Negeri (BPN) dalam mengangani sengketa tanah yang terjadi dalam masyarakat.
d.   Sebagai suatu sumbangan pemikiran dan bahan masukan bagi masyarakat  Desa Kalembu Ndara Mane Kecamatan Wewewa Timur Kabupaten Sumba Barat   Daya mengenai penyelesaian sengketa tanah berbaisis kearifan local.

















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP DAN KERANGKA BERPIKIR
A.    TINJAUAN PUSTAKA
penelitian yang dikemukakan oleh peneliti terdahulu menunjukan pandangan tentang penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
Kalle (2013) bahwa dalam dunia orang Timor sengketa merupakan gejala sosial yang sering terjadi dalam kehidupan sosial baik di desa maupun diperkotaan. Timor adalah wilayah yang dihuni etnik – etnik asli yang juga memiliki kearifan lokal. Juga dalam hal penyelesaian sengketanya. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagai sebuah solusi permasalahan yang dilakukan jauh lebih mudah di banding dengan penyelesaian sengketa melalui pengadilan, karena menurut orang Timor, hukum tidak dapat ditegakan tanpa kebenaran dan keadilan. Rendahnya moral penegak hukum (tentu tidak semua) dan sikap menang sendiri dari sejumlah pencari keadilan, maka hukum dan peraturan perundang- undangan tidak dapat dijalankan secara adil. Dengan sendirinya kesejateraan, kemakmuran dan keamanan tidak dapat terwujud dan rakyat tidak dapat menikmati hak- hak dan kewajibannya. Keadilan telah tertindas nafsu serahkah dan tertindih oleh kepentingan pribadi, keluarga dan golongan sendiri.
Menurut orang Timor penyelesaian sengketa di luar pengadilan, sebenarnya tidak perlu menghamburkan banyak biaya. Penyelesaian sengketa yang adil dan benar itu lebih ditekankan pada perubahan pola pikir orang – orang yang terlibat di dalamnya, yaitu pihak – pihak yang bersengketa dan pihak lain sebagai penyelesai sengketa. Bagi orang Timor siapa saja dapat menjadi agen pelaksananya, sepanjang disepakati oleh pihak   pihak yang bersengketa.
Pide (2012)  bahwa  Ketika Hak Ulayat telah beralih ke hak individu, maka dalam realitas sosial secara otomatis mengubah sekaligus menggeser keberadaan dan eksistensi hak ulayat (deulayatisasi) dan tidak dapat dipulihkan kembali menjadi hak kolektif. Adanya kesalahan persepsi terhadap hukum positif (UUPA) cenderung mengarah pada kompleksitas masalah pertanahan dan tidak menutup kemungkinan berujung pada konflik, baik antara masyarakat, pemerintah dan pihak swasta. Hapusnya Hak Ulayat dalam penguasaan hak atas Tanah Adat, tidak berarti hak tradisional lainnya sebagai nilai-nilai kearifan lokal juga ikut berakhir. Meskipun sifatnya heterogen di berbagai wilayah, namun dianggap sangat relevan utamanya dalam penegakan hukum, bahkan menjadi perekat dan penunjang terpeliharanya keutuhan bangsa. Dalam kaitannya dengan sengketa penguasaan hak atas tanah, kearifan lokal memiliki keunikan bagaimana suatu sengketa dapat dan seharusnya diselesaikan.
Begitu pula dalam dunia orang Sumba Barat Daya Desa Kalembu Ndara Mane bahwa  sengketa tanah merupakan gejala sosial yang sering terjadi dalam kehidupan sosial baik di desa maupun diperkotaan. hukum adat yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat kampung adalah suatu kearifan lokal yang merupakan norma pengikat bagi kehidupan masyarakat kampung itu sendiri. Upaya mempertahaankan nilai-nilai budaya (kearifan tradisional) dalam penyelesaian sengketa tanah adalah dengan tetap mempertahankan berlakunya hukum adat dikalangan orang Desa Kalembu Ndara Mane Kabupaten Sumba Barat Daya.
Keadilan bagi masyarakat itu berbeda dengan keadilan masyarakat – masyarakat lainnya. Oleh karena itu kadang kala mereka melakukan perlawanan terhadap pengadilan dengan cara mereka sendiri.mereka juga menganggap pengadilan kadang – kadang tidak memahami etika yang dianut oleh masyarakat di Sumba Barat Daya dalam menyelesaikan sengketa tanah diantara mereka.
Sebagai warga negara  mereka tunduk kepada aturan – aturan yang berlaku dalam negara tetapi kadang – kadang juga merasa bahwa hukum atau aturan yang berlaku  dalam  Negara (badan peradilan negara) telah meninggalkan “akar keadilan” yang mencangkup akar moralitas, akar sosial dan akar budaya orang sumba barat  daya.
Kearifan tradisional yang mereka pakai dalam menyelesaikan sengketa tanah diantara mereka mempunyai legitimasi yang kuat dalam masyarakatnya karena mempunyai citra keabadian dan keramat. Jika ada pihak - pihak yang mengalami masalah  sengketa tanah maka mereka akan mengunakan  pemutus masalah sengketa tanah yang ahli (mediator) dicari upaya hokum Adat untuk menyelesaikan masalah sengketa tanah tersebut agar kedua bela pihak yang mengalami sengketa tanah bisa sama – sama mendapatkan keadilan dan tidak ada yang merasa dirugikan sehingga keadaan dalam masyarakat menjadi normal kembali.

Adapun persamaan dan perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti tedahulu adalah sama - sama meneliti tentang penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan menggunakan kearifan lokal dan yang membedakan adalah bahwa dari setiap daerah mempunyai budaya adat - istiadat yang berbeda – beda, juga infoman dalam yang di gunakan dalam penelitian ini berbeda dari penelitian terdahulu. Sehingga cara penyelesaian sengketanya pun berbeda. itulah persamaan dan perbedaan penelitian ini dengan penelitian - penelitian terdahulu.  
B.     KONSEP
1.    Sengketa Tanah
a.     Pengertian Sengketa Tanah
Dalam kosakata bahasa inggris terdapat dua istilah yakni confilict dan dispute yang kedua-duanya mengandung pengertian tentang adanya perbedaan kepentingan diantara kedua pihak atau lebih, tetapi keduanya dapat dibedakan. Kosakata confilict sudah diserap kedalam bahasa Indonesia menjadi konflik, sedangkan kosakata dispute dapat diterjemahkan dengan kosakata sengketa. Sebuah konflik yakni sebuah situasi dimana dua pihak atau lebih dihadapkan pada perbedaan kepentingan tidak akan berkembang menjadi sebuah sengketa apabila pihak yang merasa dirugikan hanya memendam perasaan tidak  puas atau keprihatinan. http://Kosakatabahasainggris.org/sengketatanah/mirip#ixzz2XCcuFzdV. yang  di akses pada tanggal 21/05/2014.

Sengketa merupakan realitas kehidupan manusia yang sulit dihindari karna manusia sebagai makhluk sosial selalu berinteraksi satu dengan yang lainnya. Sebuah konflik berubah atau berkembanng menjadi sebuah sengketa bilamana pihakyang merasa dirugikan telah menyatakan rasa tidak puas atau keprihatinannya baik secara langsung kepada pihak yang dianggap sebagai penyebab kerugian tau kepada pihak lain, Kale (2013:8).

Ini berarti sengketa merupakan kelanjutan dari konflik, sebuah konflik akan berubah majadi sengketa bila tidak dapat terselesaikan. Konflik dapat diartiksn pertentangan diantara para pihak untuk menyelesaikan masalah yang kalau tidak diselesaikan dengan baik dapat menggangu hubungan diantara mereka sepanjang para pihak tersebut dapat menyelesaikan masalahnya dengan baik maka sengketa tidak akan terjadi, namun bila terjadi sebaliknya, para pihak tidak dapat mencapai kesepakatan melalui solusi pemecahan masalahnya, maka sengketalah yang timbul.
Hugh Miall,dkk (2007:7) berpendapat bahwa konflik adalah aspek intrinsik dan tidak mungkin dihindarkan dalam perubahan sosial. Konflik adalah sebuah ekspresi heterogenitas kepentingan, nilai dan keyakinan yang muncul sebagai formasi baru yang ditimbulkan oleh perubahan sosial yang muncul bertentangan dengan hambatan yang diwariskan. Namun cara kita menangani konflik adalah persoalan kebiasaan dan pilihan.
Sengketa tanah yang terjadi juga tidak terlepas dari perbedaan tafsir terhadap hak publik dan hak perorangan yang diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria no 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok aggraria. Hak publik antara lain wewenang pemberian sertifikat oleh Badan Pertanahan Nasional sebagai Pejabat Tata Usaha Negara, sedangkan yang menyangkut hak perorangan dikarenakan proses peralihan hak.
Sengketa tanah yang timbul antara lain terkait dengan warisan, penerbitan sertifikat, perbuatan hukum peralihan hak atas tanah (jual beli, hibah), dan pembebasan tanah untuk kepentingan umum. Sumber sengketa tanah yang terjadi secara umum dapat dibagi menjadi 5 (lima):
a.       Sengketa disebabkan oleh kebijakan pemerintah pada masa Orde Baru
b.      Tumpang tindihnya peraturan perundang-undangan tentang sumber daya agrarian
c.       Tumpang tindihnya penggunaan tanah
d.      Kualitas sumberdaya manusia dari aparat pelaksana, dan
e.       Berubahnya pola pikir masyarakat terhadap penguasaan tanah.
Sengketa tanah banyak terjadi karena adanya sebuah benturan kepentingan antara siapa dengan siapa. Sadar akan pentingnya tanah untuk tempat tinggal atau kepentingan lainnya menyebabkan tanah yang tidak jelas kepemilikannya diperebutkan bahkan ada yang sudah jelas kepemilikannyapun masih ada yang diperubutkan, hal ini terjadi karena masyarakat sadar akan kepentingan dan haknya,selain itu harga tanah yang semakin meningkat. Akhir-akhir ini kasus pertanahan muncul ke permukaan dan merupakan bahan pemberitaan di media massa. Secara makro penyebab munculnya kasus-kasus pertanahan tersebut adalah sangat bervariasi yang antara lain : 1). Harga tanah yang meningkat dengan cepat; 2). Kondisi masyarakat yang semakin sadar dan peduli akan kepentingan/haknya;        3). Iklim keterbukaan yang digariskan pemerintah.
Dalam Http://al-rasyid.blog.undip.ac.id/2010/10/04/sengketa-tanah/ yang  di akses pada tanggal 21/05/2014, bahwa pada hakekatnya, kasus pertanahan merupakan benturan kepentingan (conflict iof interest) di bidang pertanahan antara siapa dengan siapa, sebagai contoh konkret antara perorangan dengan perorangan; perorangan dengan badan hukum; badan hukum dengan badan hukum dan lain sebagainya.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, guna kepastian hukum yang diamanatkan UUPA tentang perturan dasar pokok-pokok agraria, maka terhadap kasus pertanahan dimaksud antara lain dapat diberikan respons/reaksi penyelesaian kepada yang berkepentingan (masyarakat dan pemerintah).
Peraturan yang berlaku kasus pertanahan itu timbul karena adanya klaim/pengaduan atau keberatan dari masyarakat (perorangan/badan hukum) yang berisi kebenaran dan tuntutan terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara di bidang pertanahan yang telah ditetapkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan Badan Pertanahan Nasional, serta keputusan Pejabat tersebut dirasakan merugikan hak-hak mereka atas suatu bidang tanah tersebut. Dengan adanya klaim tersebut, mereka ingin mendapat penyelesaian secara administrasi dengan apa yang disebut koreksi serta merta dari Pejabat yang berwenang untuk itu. Kewenangan untuk melakukan koreksi terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara di bidang pertanahan (sertifikat / Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah), ada pada Kepala Badan Pertanahan Nasional.Kasus pertanahan dapat berupa permasalahan status tanah,masalah kepemilikan,masalah bukti-bukti perolehan yang menjadi dasar pemberian hak dan sebagainya.
Murad (2008:9) sengketa tanah dapat dikatakan sebagai sengketa hak atas tanah, yaitu : Timbulnya sengketa hukum yang bermula dari pengaduan sesuatu pihak (orang atau badan) yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah, baik terhadap status tanah, prioritas, maupun kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku.



Konflik menurut pengertian hukum adalah perbedaan pendapat, perselisihan paham, sengketa antara dua pihak tentang hak dan kewajiban
pada saat dan keadaaan yang sama. Secara umum konflik atau perselisihan paham, sengketa, diartikan dengan pendapat yang berlainan antara dua pihak mengenai masalah tertentu pada saat dan keadaan yang sama.
b.      Penyelesaian Sengketa Alternatif
Di Indonesia sulit untuk mendapatkan pengaturan yang memadai atau lengkap mengenai penyelesaian sengketa melalui alternatif penyelesaian sengketa, dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang arbiterasi dan alternatif penyelesaian sengketa bahwa alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati oleh Para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.
Mukeri (2013:2)  sengketa biasanya bermula dari suatu situasi dimana ada pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain. Hal ini diawali dengan perasaan tidak puas yang bersifat subjektif dan tertutup. Kejadian ini dapat dialami oleh perorangan maupun kelompok. Perasaan tidak puas akan muncul kepermukaan apabila terjadi conflik interest. Pihak yang merasa dirugikan akan menyampaikan ketidakpuasannya kepada pihak kedua dan apabila tidak ada titik temu penyelesaian maka ini dikatakan sebagai sengketa yang secara garis besar terdapat dua kubu / pihak yang mempunyai pendirian masing-masing.
Dalam persengketaan, perbedaan pendapatmenyebabkan terjadinya perdebatan yang berkepanjangan yang umumnya mengakibatkan kegagalan proses mencapai kesepakatan dan hat ini berakibat dengan putusnya jalur komunikasi yang sehat.  Agar terciptanya proses penyelesaian sengketa yang efektif, prasyarat yang hams dipenuhi adalah kedua belah pihak harus sama-sama memperhatikan atau menjunjung tinggi hak untuk mendengar dan hak untuk di dengar sehingga dapat tercipta titik temu dari penyelesaian masalah/sengketa.
Mukeri (2013:3) ada 3 faktor utama yang mempengaruhi proses penyelesaian sengketa, yaitu:
1.      Kepentingan (intersect);
2.      Hak-hak (rights), dan
3.      Status Kekuasaan (power)
Para pihak yang bersengketa menginginkan agar kepentingannya tercapai, hak-haknya dipenuhi, dan kekuasaannya diperlihatkan, dimanfaatkan dan dipertahankan. Dalam proses penyelesaian sengketa, pihak-pihak yang bersengketa lazimnya akan bersikeras dan bersikukuh mempertahankan ketiga faktor tersebut di atas.
Latar belakang lahirnya ADR (Alternative Dispute Resolution) adalah dikarenakan :
a.       Mengurangi kemacetan di pengadilan. Banyaknya kasus yang diajukan ke pengadilan   menyebabkan proses pengadilan seringkali berkepanjangan sehingga memakan biaya yang tinggi dan sering memberikan hasil yang kurang memuaskan.
b.      Meningkatkan ketertiban masyarakat dalam proses penyelesaian sengketa.
c.       Memperlancar serta memperluas akses ke pengadilan.
d.      Memberikan kesempatan bagi tercapainya penyelesaian sengketa yang menghasilkan keputusan yang dapat diterima oleh semua pihak dan memuaskan.
ADR merupakan suatu istilah asing yang perlu dicarikan padananya dalam Bahasa Indonesia. Alternative Dispute Resolution (ADR) sering diartikan sebagai alternative to litigation dan alternative to adjudication. Pilihan penyelesaian sengketa melalui cara perundingan atau mediasi ini mempunyai kelebihan bila dibandingkan dengan menempuh cara berperkara di depan persidangan yang memakan waktu lama dan biaya yang tidaklah sedikit disamping itu adanya krisis kepercayaan masyarakat akan kemadirian lembaga peradilan sehingga orang enggan menyelesaikan masalah melalui jalur hukum dan oleh karena itu mereka mencari jalur alternatif penyelesaian sengketa atau konflik yang terjadi dengan harapan dapat memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak tanpa menimbulkan perpecahan ataupun rasa kurang puas akan hasil dari putusan pengadilan, dan salah satu cara yang dipergunakan adalah dengan menempuh jalur mediasi.
Sebagaimana diketahui di Indonesia, setiap tahun terjadi penunggakan ratusan perkara tidak terselesaikan di Mahkamah Agung (MA), baik perkara perdata maupun perkara pidana. Jumlah tersebut menjadi lebih banyak jika ditambah dengan perkara sisa tahun - tahun sebelumnya, hingga mencapai belasan ribu perkara. Perkara didominasi oleh perkara perdata, yang menurut Undang-Undang Republik  Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman sebenarnya biasa diselesaikan di luar pengadilan. Hal tersebut di atas membenarkan seolah-olah Lembaga Tinggi Negara tersebut kesulitan untuk dapat menyelesaikan tugasnya. Oleh karena, itu diperlukan suatu Penyelesaian Sengketa Alternatif  (Alternative Dispute Resolution = ADR) yang berbasis kearifan lokal.  Penyelesaian seperti ini diharapkan dapat memenuhi rasa keadilan pihak-pihak yang membutuhkannya. Menurut Emirzon (2001:5), di Negara lain, baik negara-negara yang sudah maju (developed countries) maupun Negara-negara industri baru telah menempatkan Penyelesaian Sengketa Alternatif  (ADR) sebagai tingkatan yang pertama dan pengadilan sebagai tingkat yang terakhir.
Penyelesaian sengketa seperti ini memerlukan waktu lama, mahal, putusannya menyakitkan pihak-pihak yang kalah serta menimbulkan dendam. Selain itu telah menjadi rahasia umum bahwa penyelesaian sengketa dengan paradigma legal centralism telah dikuasai oleh mafia peradilan, yang menyebabkan hukum negara menjadi menurun kewibawaannya karena merupakan komoditas yang bisa diperjual belikan. Isu-isu miring seperti ini bahkan menodai benteng terakhir keadilan, yaitu Mahkamah Agung. Penyelesaian sengketa alternatif  berbasis kerifan lokal oleh para tokoh-tokoh masyarakat baik formal maupun informal diharapkan juga akan mengurangi perkara yang diselesaikan melalui pengadilan serta menyajikan keadilan yang substantif. Hal tersebut menjadi tantangan dan perlu diteliti lebih lanjut, bila hasilnya memang demikian, semua pihak harus berani keluar dari alur kebijakan penegakan hukum yang hanya bersandar kepada peraturan perundang-undangan saja.
Penyelesaian sengketa dibatasi dengan penyelesaian sengketa yang dilakukan di luar pengadilan (non-litigasi). Bagi mereka yang menggunakan kacamat antropologi hukum (cabang dari antropolgi budaya), penyelesaian sengketa di luar pengadilan adalah hal yang biasa. Namun, tidak demikian halnya bagi mereka yang berpikir formal-legalistik.
Usman (2003:7) menyatakan bahwa penyelesaian sengketa alternatif  atau yang biasa dikenal dengan Alternative Dispute Resolution (ADR) adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak terkait, yakni penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Mediasi dan perdamaian ini diterbitkan sebagai salah satu upaya untuk mensosialisasikan pentingnya pemberdayaan lembaga damai yang seharusnya dimaksimalkan oleh hakim sebagai penegak hukum dalam perkara perdata yang memiliki banyak keuntungan dalam menggunakan atau menempuh jalur mediasi sebagai salah satu alternatif menyelesaikan sengketa di luar proses peradilan. Keuntungan itu antara lain sengketa yang terjadi antara para pihak dapat diselesaikan dengan prinsip win-win solution tidak berkepanjangan, biaya lebih ringan, hubungan baik antara yang bersengketa tetap dapat dipertahankan dan terhindar dari publikasi berlebihan yang dapat mempengaruhi "performance" pihak-pihak yang bersengketa Dalam mediasi atau alternatif penyelesaian sengketa diluar proses peradilan pada umumnya, penyelesaian lebih ditekankan pada kebaikan semua pihak.

Upaya damai adalah suatu persetujuan dengan mana kedua belah pihak dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung ataupun mencegah timbulnya suatu perkara (pasal 1851 KUH Perdata). Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran (SEMA) No.1 Tahun 2002 tentang pemberdayaan Pengadilan tingkat pertama dalam menerapkan lembaga damai yang sebelumnya telah diatur dalam Pasal 130 HIR/ 154 R.Bg.
Diatur Pula sebelumnya di dalam Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan alternative penyelesaian sengketa yang didalamnya dapat ditemui sekurang-kurangnya ada enam macam tata cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan yaitu :
1.      Konsultasi;
2.      Negosiasi;
3.      Mediasi;
4.      Konsiliasi;
5.      Pemberian Pendapat Hukum; dan
6.      Arbitrase
Negosiasi melibatkan para pihak yang bersengketa secara langsung, konsultasi dan pemberian pendapat hukum dapat dilakukan secara bersama­sama antara para pihak yang bersengketa dengan pihak yang memberikan konsultasi atau pendapat hukum, maupun secara sendiri-sendiri oleh masing-­masing pihak yang bersengketa dengan konsultan atau ahli hukum. Selanjutnya mediasi dan konsoliasi yang melibatkan pihak ketiga yang berperan dan berfungsi menghubungkan kedua belah pihak yang bersengketa dimana di dalam mediasi berfungsi sebagai pihak ketiga yang dibatasi hanya sebagai penyambung lidah dari pihak-pihak yang sedang bersengketa.
Pengaturan mengenai Mediasi dapat ditemukan dalam ketentuan pasal 6 ayat (3) Pasal 6 ayat (4), Pasal 6 ayat (5) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Ketentuan mengenai mediasi yang diatur dalam Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 adalah suatu proses kegiatan sebagai kelanjutan dari gagalnya negosiasi yang dilakukan oleh para pihak menurut ketentuan pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999.
Menurut rumusan dari Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tersebut bahwa atas kesepakatan tertulis para pihak yang bersengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seoarang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator sebagai pihak ketiga baik perorangan maupun dalam bentuk suatu lembaga independen yang sifatnya netral atau tidak memihak dan berfungsi sebagai mediator dan berkewajiban melaksanakan tugas dan fungsinya berdasarkan pada kehendak dan kemauan para pihak.
Penjelasan pasal 3 (1) Undang-Undang Repuplik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman menyatakan: “ ketentuan ini tidak menuntut kemungkinan penyelesaian sengketan dilakukan di luar pengadilan Negara melalui perdamaian atau arbitrase” (Redaksi Sinar Grafika, 2004: 20). Penyelesaian diluar pengadilan Negara dengan mengakui dan menghormati hak, asal-usul, dan adat istiadat desa, memang sudah sewajarnya. Koesnoe (1979: 82) menyatakan hukum adat merupakan landasan dan sumber hukum nasional. Pentingnya hokum adat sebagai sumber hukum nasional.
2.      Kearifan Lokal 
Dalam kearifan lokal, terkandung pula kearifan budaya lokal. Kearifan budaya lokal sendiri adalah pengetahuan lokal yang sudah sedemikian menyatu dengan sistem kepercayaan, nilai, norma, hukum adat dan budaya serta diekspresikan dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu yang lama.
Kearifan lokal terdiri dari dua kata yaitu kearifan yang berasal dari kata dasar arif dan kata lokal menurut Kamus Bahasa Indonesia (2010:122) arif memiliki dua arti yaitu tahu atau mengetahui, arti yang kedua cerdik, pandai dan bijaksana namun jika ditambah awalan “ke” dan akhiran “an” menjadi kebijaksanaan, kecendikiaan, suatu sikap yangmenumbuhkan dan memelihara harkat, nilai-nilai insani serta martabat manusia dan lingkungan.
Kata lokal yang berarti tempat atau pada suatu tempat tumbuh terdapat atau hidup suatu yang mungkin berbeda dengan tempat lain atau terdapat disuatu tempat, yang bernilai dan mungkin berlaku setempat atau berlaku universal. Dengan kata lain maka karifan lokal dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan, nilai-nilaii, pandangan-pandangan setempat lokal yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Dalam disiplin antropologi dikenal istilah local genius. Local genius ini merupakan istilah yang mulai pertama dikenalkan oleh Quaritch Wales.
Menurut Direktur Afri-Afya, Caroline Nyamai - Kisia, dalam (Anditiyas  2013:1) kearifan lokal adalah sumber pengetahuan yang diselenggarakan dinamis, berkembang dan diteruskan oleh populasi tertentu yang terintegrasi dengan pemahaman mereka terhadap alam dan budaya sekitarnya.
Kearifan lokal adalah dasar untuk pengambilan kebijakkan pada level lokal di bidang kesehatan, pertanian, pendidikan, pengelolaan sumber daya alam dan kegiatan masyarakat pedesaan.
Ciri-cirinya adalah:
Ø  mampu bertahan terhadap budaya luar.
Ø  memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar,
Ø  mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli.
Ø  mempunyai kemampuan mengendalikan,
Ø  mampu memberi arah pada perkembangan budaya.
kearifan lokal (local genius) adalah kebenaran yang telah mentradisi atau budaya dalam suatu daerah. Kearifan lokal merupakan perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang ada. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meski pun berasal dari daerah lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya sangat universal.
Menurut Ngakan dalam Akhmar dan Syarifudin (2007:1) kearifan lokal merupakan tata nilai atau perilaku hidup masyarakat lokal dalam berinteraksi dengan lingkungan tempatnya hidup secara arif.  Maka dari itu kearifan lokal tidaklah sama pada tempat dan waktu yang berbeda dan suku yang berbeda. Perbedaan ini disebabkan oleh tantangan alam dan kebutuhan hidupnya berbeda-beda, sehingga pengalamannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya memunculkan berbagai sistem pengetahuan baik yang berhubungan dengan lingkungan maupun sosial.
Sementara itu Keraf (2002) dalam Waty(2013:2) menegaskan bahwa kearifan lokal adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia  dalam kehidupan didalam komunitas ekologis. Semua bentuk kearifan lokal ini dihayati, dipraktekkan, diajarkan dan diwariskan dari generasi ke generasi sekaligus membentuk pola perilaku manusia terhadap sesama manusia, alam maupun gaib.

Menurut Antariksa (2009), dalamnWaty (2013:2). kearifan merupakan unsur bagian dari tradesi - budaya masyarakat suatu bangsa, yang muncul menjadi bagian - bagian yang ditempatkan pada tatanan fisik bangunan (arsitektur) dan kawasan (perkotaan) dalam geografi kenusantaraan sebuah bangsa.
Dari penjelasan itu dapat dilihat bahwa kearifan lokal merupakan langkah penerapan dari tradisi yang diterjemahkan dalam artefak fisik. Hal terpenting dari kearifan lokal adalah proses sebelum implementasi tradisi pada artefak fisik, yaitu nilai-nilai dari alam untuk mengajak dan mengajarkan tentang bagaimana ‘membaca’ potensi alam dan menuliskannya kembali sebagai tradisi yang diterima secara universal oleh masyarakat, khususnya dalam berarsitektur. Nilai tradisi untuk menselaraskan kehidupan manusia dengan cara menghargai, memelihara dan melestarikan alam lingkungan.
waty (2013:1). kearifan lokal secara bebas dapat diartikan nilai-nilai budaya yang baik yang ada di dalam suatu masyarakat. Hal ini berarti, untuk mengetahui suatu kearifan lokal di suatu wilayah maka kita harus bisa memahami nilai-nilai budaya yang ada di dalam wilayah tersebut. Berdasarkan beberapa definisi di atas penulis juga membuat definisi tentang pengertian kearifan lokal. Menurut pendapat penulis, kearifan lokal adalah sebagian bentuk dari tradisi dan budaya yang mempunyai nilai-nilai luhur dan sudah diajarkan sejak lama secara turun temurun.
Gobyah (2012:1), kearifan lokal (local genius) adalah kebenaran yang telah mentradisi dalam suatu daerah. Kearifan lokal merupakan perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang ada. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapinilai yang  terkandung di dalamnya dianggap sangat universal. 

Geriya (2011:2),  mengatakan bahwa secara konseptual, kearifan lokal dan keunggulan lokal merupakan kebijaksanaan manusia yang bersandar pada filosofi nilai-nilai, etika, cara-cara dan perilaku yang melembaga secara tradisional. Kearifan lokal adalah nilai yang dianggap baik dan benar sehingga dapat bertahan dalam waktu yang lama dan bahkan melembaga. Kearifan adat dipahami sebagai segala sesuatu yang didasari pengetahuan dan diakui akal serta dianggap baik oleh ketentuan agama. Adat kebiasaan pada dasarnya teruji secara alamiah dan niscaya bernilai baik, karena kebiasaan tersebut merupakan tindakan sosial yang berulang-ulang dan mengalami penguatan (reinforcement). Apabila suatu tindakan tidak dianggap baik oleh masyarakat maka ia tidak akan mengalami penguatan secara terus-menerus. Pergerakan secara alamiah terjadi secara sukarela karena dianggap baik atau mengandung kebaikan. Adat yang tidak baik akan hanya terjadi apabila terjadi pemaksaan oleh penguasa. Bila demikian maka ia tidak tumbuh secara alamiah tetapi dipaksakan. Secara filosofis, kearifan lokal dapat diartikan sebagai sistem pengetahuan masyarakat lokal/pribumi (indigenous knowledge systems) yang bersifat empirik dan pragmatis. Bersifat empirik karena hasil olahan masyarakat secara lokal berangkat dari fakta-fakta yang terjadi di sekeliling kehidupan mereka.
Bertujuan pragmatis karena seluruh konsep yang terbangun sebagai hasil olah pikir dalam sistem pengetahuan itu bertujuan untuk pemecahan masalah sehari-hari (daily problem solving).Kearifan lokal merupakan sesuatu yang berkaitan secara spesifik dengan budaya tertentu (budaya lokal) dan mencerminkan cara hidup suatu masyarakat tertentu (masyarakat lokal). Dengan kata lain, kearifan lokal bersemayam pada budaya lokal (local culture).
Budaya lokal (juga sering disebut budaya daerah) merupakan istilah yang biasanya digunakan untuk membedakan suatu budaya dari budaya nasional (Indonesia) dan budaya global. Budaya lokal adalah budaya yang dimiliki oleh masyarakat yang menempati lokalitas atau daerah tertentu yang berbeda dari budaya yang dimiliki oleh masyarakat yang berada di tempat yang lain. Permendagri Nomor 39 Tahun 2007 pasal 1 mendefinisikan budaya daerah sebagai “suatu sistem nilai yang dianut oleh komunitas atau kelompok masyarakat tertentu di daerah, yang diyakini akan dapat memenuhi harapan-harapan warga masyarakatnya dan di dalamnya terdapat nilai-nilai, sikap tatacara masyarakat yang diyakini dapat memenuhi kebutuhan warga masyaraknya.
Di Indonesia istilah budaya lokal juga sering disepadankan dengan budaya etnik/subetnik. Setiap bangsa, etnik, dan sub etnik memiliki kebudayaan yang mencakup tujuh unsur, yaitu: bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian, sistem religi, dan kesenian. Secara umum, kearifan lokal (dalam situs Departemen Sosial RI) dianggap pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka.
Dengan pengertian-pengertian tersebut, kearifan lokal bukan sekedar nilai tradisi atau ciri lokalitas semata melainkan nilai tradisi yang mempunyai daya-guna untuk mewujudkan harapan atau nilai-nilai kemapanan yang juga secara universal yang didamba-dambakan oleh manusia.  Dari definisi-definisi itu, kita dapat memahami bahwa kearifan lokal adalah pengetahuan yang dikembangkan oleh para leluhur dalam mensiasati lingkungan hidup sekitar mereka, menjadikan pengetahuan itu sebagai bagian dari budaya dan memperkenalkan serta meneruskan itu dari generasi ke generasi. Beberapa bentuk pengetahuan tradisional itu muncul lewat cerita-cerita, legenda-legenda, nyanyian-nyanyian, ritual-ritual, dan juga aturan atau hukum setempat. Kearifan lokal menjadi penting dan bermanfaat hanya ketika masyarakat lokal yang mewarisi sistem pengetahuan itu mau menerima dan mengklaim hal itu sebagai bagian dari kehidupan mereka. Dengan cara itulah, kearifan lokal dapat disebut sebagai jiwa dari budaya lokal.
Jenis-jenis kearifan lokal, antara lain;
1.      Tata kelola,berkaitan dengan kemasyarakatan yang mengatur kelompok sosial (kades).
2.      Nilai-nilai adat, tata nilai yang dikembangkan masyarakat tradisional yang mengatur etika.
3.      Tata cara dan prosedur, bercocok tanam sesuai dengan waktunya untuk melestarikan alam.
4.      Pemilihan tempat dan ruangan
Sementara Moendardjito (dalamAyatrohaedi, 1986:40 ‑41), mengatakan bahwa unsur budaya daerah potensial sebagai local genius karena telah teruji  kemampuannya untuk bertahan sampai sekarang.
C.      KERANGKA BERPIKIR                      
Sengketa tanah bukan sekadar insiden, tapi (lagi - lagi) tragedi. Celakanya, tragedi semacam ini bukan hanya sekali-dua, tapi berulang-ulang seakan tak ada bosannya. Tragedi ini pun semakin menambah panjang daftar korban Masalah dari berbagai kasus yang bersumberkan sengketa tanah (agraria) di Indonesia. Sengketa tanah dan sumber-sumber agraria pada umumnya sepertinya merupakan konflik laten. Dari berbagai kasus yang terjadi, bangkit dan menajamnya sengketa tanah tidaklah terjadi seketika, namun tumbuh dan terbentuk dari benih-benih yang sekian lama memang telah terendap. Pihak-pihak yang bersengketa pun sebagian besar kalaupun tidak bisa disebut, hampir seluruhnya bukan hanya individual, namun melibatkan tataran komunal. Keterlibatan secara komunal inilah yang memungkinkan sengketa tanah merebak menjadi kerusuhan massal yang menelan banyak korban. Tatkala kerusuhan meledak, rakyatlah yang kerap menanggung akibat yang paling berat. Banyak masalah sengketa tanah yang sudah di limpahkan atau disesaikan di pengadilan negeri namun belum menjamin akan kepuasan dari pihak – pihak yang bersengketa tanah karena ada pihak yang merasa tidak adil dan merasa di rugikan oleh putusan pengadilan yang sudah ada sehingga terjadi kerusuhan mengenai masalah sengketa tanah.  Oleh karena itu banyak pihak – pihak yang mengalami sengketa tanah menempu jalur alternatif yaitu penyelesaian sengketa tanah di luar pengadilan. Mengingat bahwa Indonesia adalah Negara yang kaya akan budaya dan adat istiadat pada daerah masing-masing, penyelesaian sengketa tanah lebih tepat jika menggunakan model-model penyelesaian yang disesuaikan dengan kondisi wilayah serta budaya setempat. Penyelesaian sengketa tanah  tersebut dilakukan atas inisiatif penuh dari masyarakat bawah yang masih memegang teguh adat lokal serta sadar akan pentingnya budaya lokal dalam menjaga dan menjamin keutuhan masyarakat.
Kearifan lokal adalah sumber kesadaran hukum dengan hukum itu mempunyai kaitan yang erat sekali. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meski pun berasal dari daerah lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya sangat universal yang dipahami sebagai gagasan-gagasan, nilai-nilai, pandangan-pandangan setempat  yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya sehingga walaupun pemahaman  modern selalu mengandalkan hukum formal dan menganggap kearifan-kearifan lokal hanya alternatif tetapi sebagian besar masyarakat desa menggunakan kerifan lokal yang utama dan efektif sebagai langkah penyelesaian sengketa tanah yang terjadi. kearifan lokal menjadi penting dan bermanfaat hanya ketika masyarakat lokal yang mewarisi sistem pengetahuan itu mau menerima dan mengklaim hal itu sebagai bagian dari kehidupan mereka (Anamofa 2010:1-3). Adapun  Dengan cara itulah, kearifan lokal dapat disebut sebagai jiwa dari budaya lokal. Hal itu dapat dilihat dari ekspresi kearifan lokal dalam kehidupan setiap hari karena telah terinternalisasi dengan sangat baik. Tiap bagian dari kehidupan masyarakat lokal diarahkan secara arif berdasarkan sistem pengetahuan mereka, dimana tidak hanya bermanfaat dalam aktifitas keseharian dan interaksi dengan sesama saja, tetapi juga dalam situasi-situasi yang tidak terduga seperti bencana yang datang tiba-tiba yang salah satunya adalah masalah sengketa tanah yangterjadi dalam masyarakat.  Adapun bentuk – bentuk kearifan lokal yang yang terkandung di dalamnya yaitu: nilai dan norma, etika, kepercayaan, adat – istiadat, dan hukum adat.
Untuk lebih jelasnya kerangka pikir dalam penelitian ini, dapat dilihat pada skema berikut!






SKEMA KERANGKA BERPIKIR


Text Box: PIHAK - PIHAK  YANG                    BERSENGKETA,Text Box: PENYELESAIANSENGKETA
 




















BAB III
METODE PENELITIAN

A.    Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian akan dilakukan di Desa Kalembu Ndara Mane Kecamatan Wewewa Timur Kabupaten Sumba Barat Daya yang sesuai dengan judul penelitian yang diangkat oleh peneliti yakni mengenai penyelesaian sengketa tanah berbasis kearifan lokal.
B.     Pendekatan dan Fokus Penelitian
Pendekatan yang dilakukan adalah fenomologis yaitu berusaha memahami cara penyelesaian sengketa tanah berbasis kearifan lokal. Peneliti akan melihat masalah yang terkait dengan penyelesaian sengketa  dalam masyarakat. Fokus penelitian adalah penyelasaian sengketa tanah berbasis kearifan lokal di Desa Kalembu Ndara Mane Kecamatan Wewewa Timur Kabupaten Sumba Barat Daya.
C.    Jenis penelitian
Penelitian ini adalah penelitian Kualitatif dengan menggunakan model deskriptif yaitu meneliti suatu objek dengan menghimpun, menggambarkan dan menganalisis data-data dan fakta yang diamati.Penelitian akan dilakukan di Desa Kalembu Ndara Mane Kecamatan Wewewa Timur Kabupaten Sumba Barat Daya.




D.    Teknik Pengumpulan Data
Untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik-teknik sebagai berikut:
1.      Wawancara Secara Mendalam
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Dalam hal ini Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara yang memberikan memberikan jawaban atas pertanyaan itu dan merupakan proses  untuk mendapatkan informasi untuk kepentingan penelitian dengan cara dialog antara peneliti sebagai pewawancara dengan informan atau yang memberi informasi untuk  mendapatkan data yang akurat dan kongkrit.
           Wawancara ini merupakan suatu teknik pengumpulan data untuk mendapatkan infofmasi yang digali dari sumber data langsung melalui percakapan atau tanya jawab. Wawancara dalam penelitian kualitatif sifatnya mendalam karena ingin menggali informasi secara langsung dan jelas dari informan.
2.      Observasi yaitu mengadakan pengamatan langsung dilokasi penelitian untuk mengetahui gambaran umum lokasi penelitian dan deskripsi permasalahan.
3.      Studi kepustakaan yaitu peneliti mencari literature-literatur dan data yang diperlukan untuk menjawab masalah penelitian yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa dalam masyarakat. Teknik ini kemudian membantu peneliti didalam penelusuri pembahasan melalui tulisan-tulisan yang telah ada sebelumnya tentang implementashgfi kerukunan bersama dalam masyarakat dalam penyelesaian sengketa berbasis kearifan lokal.
E.     Jenis dan Sumber Data
1.     Jenis Data
a.    Data primer: data yang diperoleh secara langsung dari informan melalui wawancara atau interview serta pengamatan langsung, seperti penyelesaian sengketa tanah yang terjadi diluar pengadilan, sebab – sebabnya dan penyelesaiannya. Sumber utama melalui catatan terulis, melalui rekaman atau pengambilan foto.
b.    Data sekunder : data yang diperlukan untuk melengkapi data - data primer yang diperoleh dengan membaca literatur-literatur atau sumber lainnya yang berhubungan dengan subtansi penelitian ini dan selain itu dapat juga melihat situs-situs atau website yang diakses untuk memperoleh data yang lebih akurat. Data sekunder ini dimaksudkan sebagai data-data penunjang untuk dapat melengkapi hasil penelitian ini, seperti pendidikan, kesehatan, lingkungan dan sebagainya.







2.      Sumber Data.
Sumber data dalam penelitian ini adalah informan yang ditentukan secara purposive sampling (sampel bertujuan), yaitu orang-orang yang bersengketa tanah, orang-orang yang terlibat dalam penyesesaian sengketa tanah, penengah (mediator), tokoh agama, tokoh adat, dan tokoh pemuda yang ada di Desa Kalembu Ndara Mane Kecamatan Wewewa Timur Kabupaten Sumba Barat Daya. Teknik pengambilan data dalam penelitian ini ialah dengan menggunakan teknik snowbaal sampling.
F.     Teknik Analisis Data
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan tujuan memberikan gambaran mengenai situasi dengan menggunakan analisis kualitatif. Data yang telah dikumpulkan baik data primer maupun sekunder yang diperoleh dari lapangan yang akan dieksplorasi secara mendalam, selanjutnya akan menghasilkan suatu kesimpulan yang menjelaskan masalah yang akan diamati.
Didalam penelitian ini data yang telah dikumpulkan akan dianalisis secara deskriptif kualitatif yakni data yang diperoleh akan dianalisis dalam bentuk kata-kata lisan maupun tulisan. Teknik ini bertujuan untuk memperoleh gambaran yang umum dan menyeluruh dari obyek penelitian. Serta hasil-hasil penelitian baik dari hasil studi lapangan maupun studi literature untuk kemudian memperjelas gambaran hasil penelitian



G.      Jadwal Penelitian
No                     Jenis kegiatan
Lama kegiatan
1.         Tahap persiapan proposal
2 minggu
2.         Tahap pengumpulan data
2 minggu
3.         Tahap analisis dan pengolahan data
2 minggu
4          Tahap penulisan laporan
2 minggu
Jumlah
8        Minggu
















H.    Biaya Penelitian
No
Tahap – Tahap
Jumlah Biaya
1
Tahap Persiapan


a.    Penyusunan proposal penelitian
Rp. 100.000

b.   Konsultasi
Rp. 200.000

c.    Seminar
Rp. 250.000

d.   Pembuatan instrumen penelitian
Rp. 50. 000

e.    Izin penelitian
Rp. 75. 000
2
Tahap Pelaksanaan


Melaksanakan Penelitian
Rp. 800. 000
3
Tahap penyusunan laporan


a. Menyusun laporan penelitian
Rp. 200.000

b. Ujian hasil penelitian
Rp. 350. 000

c. Perbaikan laporan
Rp. 150. 000

d.Laporan penelitian
Rp. 200.000
Jumlah
Rp. 2.375.000






Personalia Peneliti
1.      Peneliti
Nama                     : Anderias Lende
NIM                      : 0901070416
2.      Pembimbing I
Nama                     : Drs. S. Bully, M.si
NIP                        : 1956952985031004.
3.      Pembimbing II
Nama                     : Drs. L. Lobo, M.Kes
NIP                        : 195912311987021005


DAFTAR PUSTAKA

Akmar, A.M. dan syarifudin 2007. Pengertian kearifan lokal. dalam http://kubuskecil blogspot.com/ di akses pada tanggal 12/05/2014

Anamofa, N. 2010. Kearifan Lokal Guna Pemecahan Masalah., hhttp://tal4mbur4ng.blogspot.com/https://plus.google.com.diakses padatanggal 21/05/2014

Anditiyas. 2013. Pengertian Kerifan lokal http://anditiyas.blogspot.com/ 21/05/2014

Ayatrohaedi.1986. Pemulihan lingkungan dengan kearifan lokal.,dalam. http://pangasuhbumi.com/article/20582. di akses pada tanggal 21/05/2014.

Emirzon, J.2001. Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi & Albitrase). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Gobyah, I ketut. 2012. Berpijak pada Kearifan Lokal dalam ( http://www.balipos.co.id., diakses 21/05/2014 )

Justice for  the  Poor. 2009. Menemukan  Titik  Keseimbangan:  Mempertimbangkan  Keadilan  Non negara di Indonesia,  Jakarta: Bank Dunia.

Kale, D. 2013. Implementasi Kerukunan Bersama dalam Masyarakat untuk Penyelesaian Sengketa  Berbasis Kearifan. Skripsi. Kupang. UNDANA.

Kamus Bahasa Indonesia, 2010. Jakarta : PT Multasan Mulia Utama.

Koesnoe, 1992. Hukum Adat Sebagai Suatu Model Hukum Bag. I (Historis) Bandung : Mandar Maju

Mukeri, M. 2013. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah Melalui Mediasi Di Pengadilan dalam http://mahyunish.blogspot.com/. Diakses tanggal 21 mei 2014; 17:21 PM.

Miall, H. Dkk. 2000. Resolusi Damai Konflik Kontemporer. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Murad, R. 2000. Dalam loka karya"Mediasi, Solusi Tepat Penyelesaian Masalah       Pertanahan di   Propinsi Jawa Tengah".  Semarang Jawa Tengah.

Moertopo,  A. 1978.  Strategi Pembangunan Indonesia, CSIS, Jakarta : Bina Aksara.

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai.

Peursen,  V. 1976, Strategi Kebudayaan, Kanisius, Yogyakarta.

Pide, S. M.  2012. “Proses Penyelesaian Sengketa  Pertanahan Berbasi Nilai-   Nilai Kearifan Lokalhttp://repository.unhas.ac.id/handle/123456789/7419. Diakses 21/05/2014.

Suartana, I Ketut. 2012,  berbagi file :“makalah sengketa tanah” http//.google.com. Diberdayakan oleh Blogger. Diakses 21 mei 2014.

Sumardjono, S.W. M. 2001. Kebijakan pertanahan (antara regulasi dan implementsi.
Jakarta : kompas

Sunirdia dan widiayanti.1988. Pembaharuan hukum agrarian (beberapa pemikiran). Jakarta : Bina Aksara.

Swarsi, S. 2011.   Geriya dalam “Menggali Kearifan Lokal untuk Ajeg Bali” dalam lun di http://www.balipos.co.id, di akses pada tanggal 21/05/2014,

Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1960. tentang, Peraturan Dasar Pokok-­Pokok Agraria.

Undang - Undang Nomor 30 tahun 1999. tentang, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Undang - Undang Republik  Indonesia Nomor 4 Tahun 2004. tentang, Kekuasaan Kehakiman.

Usman, Rachmadi. 2003. Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadialan. Bandung: Penerbit P.T Citra Aditya Bakti

Waty, L. 2013. Penjelasan tentang kerifan lokal http://blogssspot.com/2013/mitos-mitos tentang kearifan lokal-html. diakses pada tanggal 21/ mei 2014.




1 komentar: