BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Tanah adalah salah satu kebutuhan mendasar bagi
keberlangsungan hidup manusia di muka bumi. Manusia hidup serta melakukan
berbagai kegiatan di atas tanah sehingga setiap saat manusia selalu berhubungan
dengan tanah dan dapat dikatakan hampir semua kegiatan hidup manusia baik
secara langsung maupun tidak langsung selalu memerlukan tanah seperti bertani
atau berkebun, mendirikan bangunan, dan bahkan pada saat manusia meninggal
duniapun masih memerlukan tanah untuk tempat makamnya.
Sunindhia dan Ninikwidayanti (1988:1) menyatakan
bahwa tanah mempunyai posisi yang strategis dalam kehidupan masyarakat
indonesia yang bersifat agraris.
Begitu pentingnya tanah bagi kehidupan manusia,
maka setiap individu atau kelompok akan selalu berusaha memiliki dan menguasainya
sehingga sangat membutuhkan
perhatian khusus dari pemerintah agar tidak terjadi masalah atau sengketa. Namun dalam kenyataannya, salah satu pokok yang hingga kini belum mendapat
pengaturan yang tuntas adalah masalah tanah hal ini terbukti banyaknya masalah
tanah yang muncul dimana-mana, baik sengketa tanah, penggurusan tanah,
pembebasan tanah yang tidak tuntas, pendudukan secara liar tanah milik orang dan lain- lain. Sengketa tanah merupakan salah satu sengketa yang
membutuhkan perhatian serius dari berbagai pihak terutama pemerintah. Berbagai upaya
penyelesaian sengketa tanah melalui badan peradilan negara telah ditempuh
tetapi belum tentu menyelesaikan sengketa tanah yang terjadi. Walaupun sengketa
yang ada telah dinyatakan selesai di pengadilan tetapi masih ada konflik - konflik yang terjadi antara pihak – pihak yang bersngkutan. Konflik biasanya berawal dari beberapa faktor
seperti proses pencarian keadilan
melalui lembaga peradilan negara selalu berakhir dengan kekecewaan, biaya yang
mahal, dan proses yang panjang dan berbelit-belit. Indikatornya adalah putusan
hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum pasti/tetap tidak dapat dieksekusi
sebab ditolak oleh masyarakat, ada kantor pengadilan yang dibakar, jaksa yang diseret di jalan-jalan, hakim yang ditikam dalam
ruang pengadilan dan banyak anggota masyarakat mencari jalan lain untuk
menyelesaikan sengketa mereka, misalnya menghakimi sendiri. Upaya menghakimi
sendiri misalnya, perkelahian massal, pembunuhan, perang antar suku, kampung, bahkan antar Desa. Ini berarti bahwa penyelesaian sengketa dengan cara
demikian tidak menyelesaikan masalah secara tuntas. Dampaknya adalah pembangunan terhambat, kepercayaan masyarakat kepada lembaga peradilan negara berkurang dan
harmoni sosial terganggu, karena antar pihak ini saling curiga. Ini menunjukkan penciptaan keadilan tidak
hanya menjadi tanggung
jawab negara secara eksklusif.
Mengingat bahwa Indonesia adalah negara yang kaya
akan budaya dan adat istiadat pada daerah masing-masing, penyelesaian sengketa
tanah lebih tepat jika menggunakan model - model penyelesaian yang disesuaikan
dengan kondisi wilayah serta budaya setempat. Penyelesaian sengketa tanah tersebut dilakukan atas inisiatif penuh dari
masyarakat yang masih memegang teguh adat lokal serta sadar akan pentingnya
budaya lokal dalam menjaga dan menjamin keutuhan masyarakat.
Perubahan adalah keniscayaan dalam kehidupan manusia. Perubahan-perubahan
yang terjadi bukan saja berhubungan dengan lingkungan fisik, tetapi juga dengan
budaya manusia. Hubungan erat antara manusia dan lingkungan kehidupan fisiknya itulah yang melahirkan budaya
manusia. Budaya lahir karena kemampuan manusia
mensiasati lingkungan hidupnya agar tetap layak untuk ditinggali waktu demi
waktu. Kebudayaan dipandang sebagai manifestasi kehidupan setiap orang atau
kelompok orang yang selalu mengubah alam. Kebudayaan merupakan usaha manusia,
perjuangan setiap orang atau kelompok dalam menentukan hari depannya.
Kebudayaan merupakan aktivitas yang dapat diarahkan dan direncanakan
(Van Peursen, 1976:10-11). Oleh sebab itu dituntut adanya kemampuan,
kreativitas, dan penemuan - penemuan baru. Manusia tidak hanya membiarkan diri
dalam kehidupan lama melainkan dituntut mencari jalan baru dalam mencapai kehidupan yang lebih manusiawi. Dasar dan arah yang
dituju dalam perencanaan kebudayaan adalah manusia sendiri sehingga humanisasi menjadi kerangka dasar dalam strategi kebudayaan(Moertopo1978:12).
Dalam perspektif di atas, realitas yang
sebenarnya adalah masa kini (present)
dengan segala permasalahan yang dihadapkan kepada manusia di dalam lingkungan
hidupnya. Masa kini sebagai realitas adalah hasil interaksi antara
manusia dengan lingkungannya. Bila perubahan lingkungan fisik membuat manusia harus mensiasatinya dan melahirkan budaya budaya yang terus menerus disesuaikan, maka perubaha
– perubahan budaya itu juga mesti disiasati demi
keberlangsungan hidup manusia. Dengan
pengakuan terhadap perubahan sebagai keniscayaan dan kemampuan manusia
mensiasati lingkungan dan budayanya, maka kearifan lokal (local wisdom) bisa mendapatkan tempatnya sebagai bagian dari
siasat kebudayaan itu.
Kearifan lokal adalah sumber kesadaran hukum. Kearifan lokal terbentuk
sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti
luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara
terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meski pun berasal dari
daerah lokal tetapi nilai – nilai yang terkandung di dalamnya sangat universal yang dipahami sebagai
gagasan - gagasan, nilai - nilai, pandangan - pandangan setempat yang bersifat bijaksana, penuh
kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya sehingga walaupun
pemahaman modern selalu mengandalkan hukum formal dan menganggap kearifan -
kearifan lokal hanya alternatif tetapi sebagian besar masyarakat desa
menggunakan kerifan lokal karena mnurut mereka Kearifan lokal dipercaya oleh masyarakat cara yang efektif sebagai
langkah penyelesaian sengketa tanah yang terjadi diantara mereka tanpa harus
mengeluarkan biaya yang banyak dan
tentunya lebih mengedepankan dan menjunjung tinggi nilai – nilai budaya yang
ada dalam masyarakat.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka peneliti merasa perlu melakukan
penelitian tentang penyelesaian sengketa tanah berbasis kearifan lokal di Desa
Kalembu Ndara Mane, Kecamatan Wewewa Timur, Kabupaten Sumba Barat Daya.
B.
RUMUSAN
MASALAH
Perumusan
masalah merupakan penjelasan mengenai alasan mengapa masalah yang dikemukakan
dalam penelitian itu dipandang menarik, penting dan perlu untuk diteliti.
Perumusan masalah juga merupakan suatu usaha yang menyatakan pertanyaan - pertanyaan penelitian
apa saja yang perlu dijawab atau dicari pemecahannya. Berdasarkan uraian
tersebut di atas maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana Cara penyelesaian sengketa tanah
berbasis kearifan lokal di Desa Kalembu Ndara Mane, Kecamatan Wewewa Timur,
Kabupaten Sumba Barat Daya ”.
C.
TUJUAN
DAN MANFAAT PENELITIAN
1. Tujuan
Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu: Untuk dapat mengetahui dan memahami
bagaimana cara
penyelesaian sengketa tanah berbasis kearifan lokal kearifan lokal.
2.
Manfaat penelitian
a. Sebagai
bahan dan sumber informasi bagi peneliti lainya agar menambah wawasan Sebagai
sumbangan pemikiran bagi Universitas Nusa Cendana Kupang khususnya program studi PPKn tentang
penyelesaian sengketa tanah berbasis
kearifan lokal
b. Manfaat
bagi peneliti yaitu Sebagai suatu
sarana pengembangan ilmu
pengetahuan tentang
penyelesaian sengketa tanah berbasis kearifan lokal.
c. Sebagai
sumbangan pemikiran dan bahan masukan bagi pemerintah, khususnya Badan
Peradilan Negeri (BPN) dalam mengangani sengketa tanah yang terjadi dalam
masyarakat.
d. Sebagai
suatu sumbangan pemikiran dan bahan masukan bagi masyarakat Desa Kalembu Ndara Mane Kecamatan Wewewa Timur
Kabupaten Sumba Barat Daya mengenai
penyelesaian sengketa tanah berbaisis kearifan local.
BAB
II
TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP DAN KERANGKA BERPIKIR
A.
TINJAUAN
PUSTAKA
penelitian
yang dikemukakan oleh peneliti terdahulu menunjukan pandangan tentang
penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
Kalle
(2013) bahwa dalam dunia orang Timor sengketa merupakan gejala sosial yang
sering terjadi dalam kehidupan sosial baik di desa maupun diperkotaan. Timor
adalah wilayah yang dihuni etnik – etnik asli yang juga memiliki kearifan
lokal. Juga dalam hal penyelesaian sengketanya. Penyelesaian sengketa di luar
pengadilan sebagai sebuah solusi permasalahan yang dilakukan jauh lebih mudah
di banding dengan penyelesaian sengketa melalui pengadilan, karena menurut
orang Timor, hukum tidak dapat ditegakan tanpa kebenaran dan keadilan.
Rendahnya moral penegak hukum (tentu tidak semua) dan sikap menang sendiri dari
sejumlah pencari keadilan, maka hukum dan peraturan perundang- undangan tidak
dapat dijalankan secara adil. Dengan sendirinya kesejateraan, kemakmuran dan
keamanan tidak dapat terwujud dan rakyat tidak dapat menikmati hak- hak dan
kewajibannya. Keadilan telah tertindas nafsu serahkah dan tertindih oleh
kepentingan pribadi, keluarga dan golongan sendiri.
Menurut orang Timor penyelesaian sengketa di luar pengadilan,
sebenarnya tidak perlu menghamburkan banyak biaya. Penyelesaian sengketa yang
adil dan benar itu lebih ditekankan pada perubahan pola pikir orang – orang
yang terlibat di dalamnya, yaitu pihak – pihak yang bersengketa dan pihak lain
sebagai penyelesai sengketa. Bagi orang Timor siapa saja dapat menjadi agen
pelaksananya, sepanjang disepakati oleh pihak – pihak
yang bersengketa.
Pide
(2012) bahwa
Ketika Hak Ulayat telah beralih ke hak individu, maka dalam realitas
sosial secara otomatis mengubah sekaligus menggeser keberadaan dan eksistensi
hak ulayat (deulayatisasi) dan tidak dapat dipulihkan kembali menjadi hak
kolektif. Adanya kesalahan persepsi terhadap hukum positif (UUPA) cenderung
mengarah pada kompleksitas masalah pertanahan dan tidak menutup kemungkinan
berujung pada konflik, baik antara masyarakat, pemerintah dan pihak swasta.
Hapusnya Hak Ulayat dalam penguasaan hak atas Tanah Adat, tidak berarti hak
tradisional lainnya sebagai nilai-nilai kearifan lokal juga ikut berakhir.
Meskipun sifatnya heterogen di berbagai wilayah, namun dianggap sangat relevan
utamanya dalam penegakan hukum, bahkan menjadi perekat dan penunjang
terpeliharanya keutuhan bangsa. Dalam kaitannya dengan sengketa penguasaan hak
atas tanah, kearifan lokal memiliki keunikan bagaimana suatu sengketa dapat dan seharusnya
diselesaikan.
Begitu
pula dalam dunia orang Sumba Barat Daya Desa Kalembu Ndara Mane bahwa sengketa tanah merupakan gejala sosial yang
sering terjadi dalam kehidupan sosial baik di desa maupun diperkotaan. hukum
adat yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat kampung adalah suatu
kearifan lokal yang merupakan norma pengikat bagi kehidupan masyarakat kampung
itu sendiri. Upaya mempertahaankan nilai-nilai budaya (kearifan tradisional)
dalam penyelesaian sengketa tanah adalah dengan tetap mempertahankan berlakunya
hukum adat dikalangan orang Desa Kalembu Ndara Mane Kabupaten Sumba Barat Daya.
Keadilan
bagi masyarakat
itu berbeda dengan keadilan masyarakat – masyarakat lainnya. Oleh karena itu
kadang kala mereka melakukan perlawanan terhadap pengadilan dengan cara mereka
sendiri.mereka juga menganggap pengadilan kadang – kadang tidak memahami etika
yang dianut oleh masyarakat di Sumba Barat Daya dalam menyelesaikan sengketa
tanah diantara mereka.
Sebagai
warga negara mereka tunduk kepada aturan
– aturan yang berlaku dalam negara tetapi kadang – kadang juga merasa bahwa
hukum atau aturan yang berlaku
dalam Negara (badan peradilan
negara) telah meninggalkan “akar
keadilan” yang mencangkup akar moralitas, akar sosial dan akar budaya orang
sumba barat daya.
Kearifan
tradisional yang mereka pakai dalam menyelesaikan sengketa tanah diantara
mereka mempunyai legitimasi yang kuat dalam masyarakatnya karena mempunyai
citra keabadian dan keramat. Jika ada pihak - pihak yang mengalami masalah sengketa tanah maka mereka akan mengunakan pemutus masalah sengketa tanah yang ahli
(mediator) dicari upaya hokum Adat
untuk menyelesaikan masalah sengketa tanah tersebut agar kedua
bela pihak yang mengalami sengketa tanah bisa sama – sama mendapatkan keadilan
dan tidak ada yang merasa dirugikan sehingga keadaan dalam masyarakat menjadi
normal kembali.
Adapun
persamaan dan perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh
peneliti tedahulu adalah sama - sama meneliti tentang penyelesaian sengketa di luar
pengadilan dengan menggunakan kearifan lokal dan yang membedakan adalah bahwa dari
setiap daerah mempunyai budaya adat - istiadat yang berbeda – beda, juga
infoman dalam yang di gunakan dalam penelitian ini berbeda dari penelitian
terdahulu. Sehingga cara penyelesaian sengketanya pun berbeda. itulah persamaan
dan perbedaan penelitian ini dengan penelitian - penelitian terdahulu.
B.
KONSEP
1.
Sengketa
Tanah
a.
Pengertian Sengketa Tanah
Dalam
kosakata bahasa inggris terdapat dua istilah yakni confilict dan dispute yang
kedua-duanya mengandung pengertian tentang adanya perbedaan kepentingan
diantara kedua pihak atau lebih, tetapi keduanya dapat dibedakan. Kosakata confilict sudah diserap kedalam bahasa
Indonesia menjadi konflik, sedangkan kosakata dispute dapat diterjemahkan dengan kosakata sengketa. Sebuah
konflik yakni sebuah situasi dimana dua pihak atau lebih dihadapkan pada
perbedaan kepentingan tidak akan berkembang menjadi sebuah sengketa apabila
pihak yang merasa dirugikan hanya
memendam perasaan tidak puas atau keprihatinan. http://Kosakatabahasainggris.org/sengketatanah/mirip#ixzz2XCcuFzdV. yang di akses pada tanggal
21/05/2014.
Sengketa
merupakan realitas kehidupan manusia yang sulit dihindari karna manusia sebagai
makhluk sosial selalu berinteraksi satu dengan yang lainnya. Sebuah konflik
berubah atau berkembanng menjadi sebuah sengketa bilamana pihakyang merasa
dirugikan telah menyatakan rasa tidak puas atau keprihatinannya baik secara
langsung kepada pihak yang dianggap sebagai penyebab kerugian tau kepada pihak
lain, Kale (2013:8).
Ini berarti
sengketa merupakan kelanjutan dari konflik, sebuah konflik akan berubah majadi
sengketa bila tidak dapat terselesaikan. Konflik dapat diartiksn pertentangan
diantara para pihak untuk menyelesaikan masalah yang kalau tidak diselesaikan
dengan baik dapat menggangu hubungan diantara mereka sepanjang para pihak
tersebut dapat menyelesaikan masalahnya dengan baik maka sengketa tidak akan
terjadi, namun bila terjadi sebaliknya, para pihak tidak dapat mencapai
kesepakatan melalui solusi pemecahan masalahnya, maka sengketalah yang timbul.
Hugh Miall,dkk
(2007:7) berpendapat
bahwa konflik adalah aspek intrinsik dan tidak mungkin dihindarkan dalam
perubahan sosial. Konflik adalah sebuah ekspresi heterogenitas kepentingan,
nilai dan keyakinan yang muncul sebagai formasi baru yang ditimbulkan oleh
perubahan sosial yang muncul bertentangan dengan hambatan yang diwariskan.
Namun cara kita menangani konflik adalah persoalan kebiasaan dan pilihan.
Sengketa
tanah yang terjadi juga tidak terlepas dari perbedaan tafsir terhadap hak
publik dan hak perorangan yang diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria no 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok aggraria. Hak publik antara lain wewenang pemberian sertifikat oleh Badan
Pertanahan Nasional sebagai Pejabat Tata Usaha Negara, sedangkan yang
menyangkut hak perorangan dikarenakan proses peralihan hak.
Sengketa
tanah yang timbul antara lain terkait dengan warisan, penerbitan sertifikat,
perbuatan hukum peralihan hak atas tanah (jual beli, hibah), dan pembebasan
tanah untuk kepentingan umum. Sumber sengketa tanah yang terjadi secara umum
dapat dibagi menjadi 5 (lima):
a. Sengketa disebabkan oleh kebijakan
pemerintah pada masa Orde Baru
b. Tumpang tindihnya peraturan
perundang-undangan tentang sumber daya agrarian
c. Tumpang tindihnya penggunaan tanah
d. Kualitas sumberdaya manusia dari
aparat pelaksana, dan
e. Berubahnya pola pikir masyarakat
terhadap penguasaan tanah.
Sengketa tanah banyak terjadi karena
adanya sebuah benturan kepentingan antara siapa dengan siapa. Sadar akan
pentingnya tanah untuk tempat tinggal atau kepentingan lainnya menyebabkan
tanah yang tidak jelas kepemilikannya diperebutkan bahkan ada yang sudah jelas
kepemilikannyapun masih ada yang diperubutkan, hal ini terjadi karena
masyarakat sadar akan kepentingan dan haknya,selain itu harga tanah yang
semakin meningkat. Akhir-akhir
ini kasus pertanahan muncul ke permukaan dan merupakan bahan pemberitaan di
media massa. Secara makro penyebab munculnya kasus-kasus pertanahan tersebut
adalah sangat bervariasi yang antara lain : 1). Harga tanah yang meningkat
dengan cepat; 2). Kondisi masyarakat yang semakin sadar dan peduli akan
kepentingan/haknya; 3). Iklim
keterbukaan yang digariskan pemerintah.
Dalam Http://al-rasyid.blog.undip.ac.id/2010/10/04/sengketa-tanah/ yang di
akses pada tanggal 21/05/2014, bahwa pada hakekatnya, kasus pertanahan
merupakan benturan kepentingan (conflict iof interest) di bidang pertanahan antara
siapa dengan siapa, sebagai contoh konkret antara perorangan dengan perorangan;
perorangan dengan badan hukum; badan hukum dengan badan hukum dan lain
sebagainya.
Sehubungan
dengan hal tersebut di atas, guna kepastian hukum yang diamanatkan UUPA tentang
perturan dasar pokok-pokok agraria, maka terhadap kasus pertanahan dimaksud
antara lain dapat diberikan respons/reaksi penyelesaian kepada yang berkepentingan
(masyarakat dan pemerintah).
Peraturan
yang berlaku kasus pertanahan itu timbul karena adanya klaim/pengaduan atau keberatan dari masyarakat (perorangan/badan hukum)
yang berisi kebenaran dan tuntutan terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara
di bidang pertanahan yang telah ditetapkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara di
lingkungan Badan Pertanahan Nasional, serta keputusan Pejabat tersebut
dirasakan merugikan hak-hak mereka atas suatu bidang tanah tersebut. Dengan
adanya klaim tersebut, mereka ingin mendapat penyelesaian secara administrasi
dengan apa yang disebut koreksi serta merta dari Pejabat yang berwenang untuk
itu. Kewenangan untuk melakukan koreksi terhadap suatu keputusan Tata Usaha
Negara di bidang pertanahan (sertifikat / Surat Keputusan Pemberian Hak Atas
Tanah), ada pada Kepala Badan Pertanahan Nasional.Kasus pertanahan dapat berupa
permasalahan status tanah,masalah kepemilikan,masalah bukti-bukti perolehan
yang menjadi dasar pemberian hak dan sebagainya.
Murad (2008:9) sengketa tanah
dapat dikatakan sebagai sengketa hak atas tanah, yaitu : Timbulnya sengketa
hukum yang bermula dari pengaduan sesuatu pihak (orang atau badan) yang berisi
keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah, baik terhadap status tanah,
prioritas, maupun kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian
secara administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku.
Konflik
menurut pengertian hukum adalah perbedaan pendapat, perselisihan paham,
sengketa antara dua pihak tentang hak dan kewajiban
pada saat dan keadaaan yang sama. Secara umum konflik
atau perselisihan paham, sengketa, diartikan dengan pendapat yang berlainan
antara dua pihak mengenai masalah tertentu pada saat dan keadaan yang sama.
b.
Penyelesaian
Sengketa Alternatif
Di Indonesia sulit untuk mendapatkan pengaturan yang memadai atau lengkap
mengenai penyelesaian sengketa melalui alternatif penyelesaian sengketa, dalam
Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang arbiterasi dan alternatif penyelesaian sengketa bahwa alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian
sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati oleh Para pihak,
yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi,
mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.
Mukeri (2013:2) sengketa biasanya bermula dari suatu
situasi dimana ada pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain. Hal ini diawali
dengan perasaan tidak puas yang bersifat subjektif dan tertutup. Kejadian ini
dapat dialami oleh perorangan maupun kelompok. Perasaan tidak puas akan muncul
kepermukaan apabila terjadi conflik interest. Pihak yang merasa
dirugikan akan menyampaikan ketidakpuasannya kepada pihak kedua dan apabila
tidak ada titik temu penyelesaian maka ini dikatakan sebagai sengketa yang
secara garis besar terdapat dua kubu / pihak yang mempunyai pendirian
masing-masing.
Dalam persengketaan, perbedaan pendapatmenyebabkan terjadinya perdebatan yang berkepanjangan yang umumnya mengakibatkan kegagalan proses mencapai
kesepakatan dan hat ini berakibat dengan putusnya jalur komunikasi yang sehat. Agar terciptanya proses penyelesaian sengketa
yang efektif, prasyarat yang hams dipenuhi adalah kedua belah pihak harus
sama-sama memperhatikan atau menjunjung tinggi hak untuk mendengar dan hak
untuk di dengar sehingga dapat tercipta titik temu dari penyelesaian
masalah/sengketa.
Mukeri (2013:3) ada 3 faktor utama yang mempengaruhi proses penyelesaian
sengketa, yaitu:
1. Kepentingan (intersect);
2. Hak-hak (rights), dan
3. Status Kekuasaan (power)
Para pihak
yang bersengketa menginginkan agar kepentingannya tercapai, hak-haknya
dipenuhi, dan kekuasaannya diperlihatkan, dimanfaatkan dan dipertahankan. Dalam
proses penyelesaian sengketa, pihak-pihak yang bersengketa lazimnya akan
bersikeras dan bersikukuh mempertahankan ketiga faktor tersebut di atas.
Latar
belakang lahirnya ADR (Alternative Dispute Resolution) adalah
dikarenakan :
a. Mengurangi kemacetan di pengadilan.
Banyaknya kasus yang diajukan ke pengadilan
menyebabkan proses pengadilan seringkali berkepanjangan sehingga memakan
biaya yang tinggi dan sering memberikan hasil yang kurang memuaskan.
b. Meningkatkan ketertiban masyarakat
dalam proses penyelesaian sengketa.
c. Memperlancar serta memperluas akses
ke pengadilan.
d. Memberikan kesempatan bagi
tercapainya penyelesaian sengketa yang menghasilkan keputusan yang dapat
diterima oleh semua pihak dan memuaskan.
ADR merupakan suatu istilah asing yang perlu dicarikan padananya dalam
Bahasa Indonesia. Alternative Dispute Resolution (ADR) sering diartikan
sebagai alternative to litigation dan alternative to adjudication. Pilihan
penyelesaian sengketa melalui cara perundingan atau mediasi ini mempunyai
kelebihan bila dibandingkan dengan menempuh cara berperkara di depan
persidangan yang memakan waktu lama dan biaya yang tidaklah sedikit disamping
itu adanya krisis kepercayaan masyarakat akan kemadirian lembaga peradilan
sehingga orang enggan menyelesaikan masalah melalui jalur hukum dan oleh karena
itu mereka mencari jalur alternatif penyelesaian sengketa atau konflik yang
terjadi dengan harapan dapat memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak tanpa
menimbulkan perpecahan ataupun rasa kurang puas akan hasil dari putusan
pengadilan, dan salah satu cara yang dipergunakan adalah dengan menempuh jalur
mediasi.
Sebagaimana diketahui di Indonesia, setiap tahun terjadi penunggakan
ratusan perkara tidak terselesaikan di Mahkamah Agung (MA), baik perkara
perdata maupun perkara pidana. Jumlah tersebut menjadi lebih banyak jika
ditambah dengan perkara sisa tahun - tahun sebelumnya, hingga mencapai belasan ribu perkara.
Perkara didominasi oleh perkara perdata, yang menurut Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman sebenarnya biasa diselesaikan di luar pengadilan. Hal tersebut di atas
membenarkan seolah-olah Lembaga Tinggi Negara tersebut kesulitan untuk dapat
menyelesaikan tugasnya. Oleh karena, itu diperlukan suatu Penyelesaian Sengketa
Alternatif (Alternative Dispute Resolution = ADR) yang berbasis kearifan lokal.
Penyelesaian seperti ini diharapkan dapat memenuhi rasa keadilan
pihak-pihak yang membutuhkannya. Menurut Emirzon (2001:5), di Negara lain, baik
negara-negara yang sudah maju (developed
countries) maupun Negara-negara industri baru telah menempatkan
Penyelesaian Sengketa Alternatif (ADR) sebagai tingkatan yang pertama dan
pengadilan sebagai tingkat yang terakhir.
Penyelesaian sengketa seperti ini memerlukan waktu lama, mahal,
putusannya menyakitkan pihak-pihak yang kalah serta menimbulkan dendam. Selain
itu telah menjadi rahasia umum bahwa penyelesaian sengketa dengan paradigma
legal centralism telah dikuasai oleh mafia
peradilan, yang menyebabkan hukum negara menjadi menurun kewibawaannya karena
merupakan komoditas yang bisa diperjual belikan. Isu-isu miring seperti ini
bahkan menodai benteng terakhir keadilan, yaitu Mahkamah Agung. Penyelesaian
sengketa alternatif berbasis kerifan
lokal oleh para tokoh-tokoh masyarakat baik formal maupun informal diharapkan
juga akan mengurangi perkara yang diselesaikan melalui pengadilan serta
menyajikan keadilan yang substantif. Hal tersebut menjadi tantangan dan perlu
diteliti lebih lanjut, bila hasilnya memang demikian, semua pihak harus berani
keluar dari alur kebijakan penegakan hukum yang hanya bersandar kepada
peraturan perundang-undangan saja.
Penyelesaian sengketa dibatasi dengan penyelesaian sengketa yang
dilakukan di luar pengadilan (non-litigasi).
Bagi mereka yang menggunakan kacamat antropologi hukum (cabang dari antropolgi
budaya), penyelesaian sengketa di luar pengadilan adalah hal yang biasa. Namun,
tidak demikian halnya bagi mereka yang berpikir formal-legalistik.
Usman (2003:7) menyatakan bahwa penyelesaian sengketa
alternatif atau yang biasa dikenal
dengan Alternative Dispute Resolution
(ADR) adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur
yang disepakati para pihak terkait, yakni penyelesaian sengketa di luar
pengadilan. Mediasi dan perdamaian ini diterbitkan sebagai salah satu upaya untuk
mensosialisasikan pentingnya pemberdayaan lembaga damai yang seharusnya
dimaksimalkan oleh hakim sebagai penegak hukum dalam perkara perdata yang
memiliki banyak keuntungan dalam menggunakan atau menempuh jalur mediasi
sebagai salah satu alternatif menyelesaikan sengketa di luar proses peradilan.
Keuntungan itu antara lain sengketa yang terjadi antara para pihak dapat
diselesaikan dengan prinsip win-win solution tidak berkepanjangan, biaya
lebih ringan, hubungan baik antara yang bersengketa tetap dapat dipertahankan
dan terhindar dari publikasi berlebihan yang dapat mempengaruhi "performance"
pihak-pihak yang bersengketa Dalam mediasi atau alternatif penyelesaian
sengketa diluar proses peradilan pada umumnya, penyelesaian lebih ditekankan
pada kebaikan semua pihak.
Upaya damai adalah suatu persetujuan dengan mana kedua belah pihak dengan
menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang mengakhiri suatu perkara
yang sedang bergantung ataupun mencegah timbulnya suatu perkara (pasal 1851 KUH
Perdata). Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran (SEMA) No.1 Tahun 2002 tentang pemberdayaan
Pengadilan tingkat pertama dalam menerapkan lembaga damai yang sebelumnya telah
diatur dalam Pasal 130 HIR/ 154 R.Bg.
Diatur Pula sebelumnya di dalam Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan alternative penyelesaian sengketa yang didalamnya dapat ditemui
sekurang-kurangnya ada enam macam tata cara penyelesaian sengketa di luar
pengadilan yaitu :
1. Konsultasi;
2. Negosiasi;
3. Mediasi;
4. Konsiliasi;
5. Pemberian Pendapat Hukum; dan
6. Arbitrase
Negosiasi
melibatkan para pihak yang bersengketa secara langsung, konsultasi dan pemberian
pendapat hukum dapat dilakukan secara bersamasama antara para pihak yang
bersengketa dengan pihak yang memberikan konsultasi atau pendapat hukum, maupun
secara sendiri-sendiri oleh masing-masing pihak yang bersengketa dengan
konsultan atau ahli hukum. Selanjutnya mediasi dan konsoliasi yang melibatkan
pihak ketiga yang berperan dan berfungsi menghubungkan kedua belah pihak yang
bersengketa dimana di dalam mediasi berfungsi sebagai pihak ketiga yang
dibatasi hanya sebagai penyambung lidah dari pihak-pihak yang sedang
bersengketa.
Pengaturan
mengenai Mediasi dapat ditemukan dalam ketentuan pasal 6 ayat (3) Pasal 6 ayat
(4), Pasal 6 ayat (5) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Ketentuan mengenai
mediasi yang diatur dalam Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
adalah suatu proses kegiatan sebagai kelanjutan dari gagalnya negosiasi yang
dilakukan oleh para pihak menurut ketentuan pasal 6 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999.
Menurut
rumusan dari Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tersebut bahwa
atas kesepakatan tertulis para pihak yang bersengketa atau beda pendapat
diselesaikan melalui bantuan seoarang atau lebih penasehat ahli maupun melalui
seorang mediator sebagai pihak ketiga baik perorangan maupun dalam bentuk suatu
lembaga independen yang sifatnya netral atau tidak memihak dan berfungsi
sebagai mediator dan berkewajiban melaksanakan tugas dan fungsinya berdasarkan
pada kehendak dan kemauan para pihak.
Penjelasan
pasal 3 (1) Undang-Undang Repuplik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang
kekuasaan kehakiman menyatakan: “ ketentuan ini tidak menuntut kemungkinan
penyelesaian sengketan dilakukan di luar pengadilan Negara melalui perdamaian
atau arbitrase” (Redaksi Sinar Grafika, 2004: 20). Penyelesaian diluar
pengadilan Negara dengan mengakui dan menghormati hak, asal-usul, dan adat
istiadat desa, memang sudah sewajarnya. Koesnoe (1979: 82) menyatakan hukum
adat merupakan landasan dan sumber hukum nasional. Pentingnya hokum adat
sebagai sumber hukum nasional.
2. Kearifan Lokal
Dalam kearifan lokal,
terkandung pula kearifan budaya lokal. Kearifan budaya lokal sendiri adalah
pengetahuan lokal yang sudah sedemikian menyatu dengan sistem kepercayaan, nilai, norma, hukum
adat
dan budaya serta diekspresikan dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka
waktu yang lama.
Kearifan lokal
terdiri dari dua kata yaitu kearifan yang berasal dari kata dasar arif dan kata
lokal menurut Kamus Bahasa Indonesia (2010:122) arif memiliki dua arti yaitu tahu atau mengetahui, arti yang kedua
cerdik, pandai dan bijaksana namun jika ditambah awalan “ke” dan akhiran “an”
menjadi kebijaksanaan, kecendikiaan, suatu sikap yangmenumbuhkan dan memelihara
harkat, nilai-nilai insani serta martabat manusia dan lingkungan.
Kata lokal
yang berarti tempat atau pada suatu tempat tumbuh terdapat atau hidup suatu
yang mungkin berbeda dengan tempat lain atau terdapat disuatu tempat, yang
bernilai dan mungkin berlaku setempat atau berlaku universal. Dengan kata lain
maka karifan lokal
dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan, nilai-nilaii, pandangan-pandangan
setempat lokal yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang
tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Dalam disiplin antropologi
dikenal istilah local genius. Local genius ini merupakan istilah yang
mulai pertama dikenalkan oleh Quaritch Wales.
Menurut Direktur Afri-Afya,
Caroline Nyamai - Kisia, dalam (Anditiyas
2013:1) kearifan
lokal adalah sumber pengetahuan yang diselenggarakan dinamis, berkembang dan
diteruskan oleh populasi tertentu yang terintegrasi dengan pemahaman mereka
terhadap alam dan budaya sekitarnya.
Kearifan lokal adalah dasar
untuk pengambilan kebijakkan pada level lokal di bidang kesehatan, pertanian,
pendidikan, pengelolaan sumber daya alam dan kegiatan masyarakat pedesaan.
Ciri-cirinya
adalah:
Ø mampu bertahan terhadap budaya luar.
Ø memiliki kemampuan mengakomodasi
unsur-unsur budaya luar,
Ø mempunyai kemampuan mengintegrasikan
unsur budaya luar ke dalam budaya asli.
Ø mempunyai kemampuan mengendalikan,
Ø mampu memberi arah pada perkembangan
budaya.
kearifan lokal
(local genius) adalah kebenaran yang telah mentradisi atau budaya dalam
suatu daerah. Kearifan lokal merupakan perpaduan antara nilai-nilai suci firman
Tuhan dan berbagai nilai yang ada. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan
budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan
lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus
dijadikan pegangan hidup. Meski pun berasal dari daerah lokal tetapi nilai yang
terkandung di dalamnya sangat universal.
Menurut
Ngakan dalam Akhmar dan Syarifudin (2007:1) kearifan lokal merupakan tata nilai
atau perilaku hidup masyarakat lokal dalam berinteraksi dengan lingkungan
tempatnya hidup secara arif. Maka dari itu kearifan lokal tidaklah sama
pada tempat dan waktu yang berbeda dan suku yang berbeda. Perbedaan ini
disebabkan oleh tantangan alam dan kebutuhan hidupnya berbeda-beda, sehingga
pengalamannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya memunculkan berbagai sistem
pengetahuan baik yang berhubungan dengan lingkungan maupun sosial.
Sementara
itu Keraf (2002) dalam Waty(2013:2) menegaskan bahwa kearifan lokal adalah semua bentuk pengetahuan,
keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun
perilaku manusia dalam kehidupan didalam
komunitas ekologis. Semua bentuk kearifan lokal ini dihayati,
dipraktekkan, diajarkan dan diwariskan dari generasi ke generasi sekaligus
membentuk pola perilaku manusia terhadap sesama manusia, alam maupun gaib.
Menurut Antariksa (2009), dalamnWaty (2013:2). kearifan
merupakan unsur bagian dari tradesi - budaya masyarakat suatu bangsa, yang
muncul menjadi bagian - bagian yang ditempatkan pada tatanan fisik bangunan
(arsitektur) dan kawasan (perkotaan) dalam geografi kenusantaraan sebuah bangsa.
Dari
penjelasan itu dapat dilihat bahwa kearifan lokal merupakan langkah penerapan
dari tradisi yang diterjemahkan dalam artefak fisik. Hal terpenting dari
kearifan lokal adalah proses sebelum implementasi tradisi pada artefak fisik,
yaitu nilai-nilai dari alam untuk mengajak dan mengajarkan tentang bagaimana
‘membaca’ potensi alam dan menuliskannya kembali sebagai tradisi yang diterima
secara universal oleh masyarakat, khususnya dalam berarsitektur. Nilai tradisi
untuk menselaraskan kehidupan manusia dengan cara menghargai, memelihara dan
melestarikan alam lingkungan.
waty (2013:1). kearifan
lokal secara bebas dapat diartikan nilai-nilai budaya yang baik
yang ada di dalam suatu masyarakat. Hal ini berarti, untuk mengetahui suatu
kearifan lokal di suatu wilayah maka kita harus bisa memahami nilai-nilai budaya yang ada di dalam wilayah tersebut. Berdasarkan beberapa definisi di atas
penulis juga membuat definisi tentang pengertian kearifan lokal. Menurut
pendapat penulis, kearifan lokal adalah sebagian bentuk dari tradisi dan budaya
yang mempunyai nilai-nilai luhur dan sudah diajarkan sejak lama secara turun
temurun.
Gobyah (2012:1), kearifan lokal (local genius) adalah kebenaran yang
telah mentradisi dalam suatu daerah. Kearifan lokal merupakan perpaduan antara
nilai-nilai suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang ada. Kearifan lokal
terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis
dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya
masa lalu yang patut secara terus menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi, nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal.
Geriya (2011:2), mengatakan
bahwa secara
konseptual, kearifan lokal dan keunggulan lokal merupakan kebijaksanaan manusia
yang bersandar pada filosofi nilai-nilai, etika, cara-cara dan perilaku yang
melembaga secara tradisional. Kearifan lokal adalah nilai
yang dianggap baik dan benar sehingga dapat bertahan dalam waktu yang lama dan
bahkan melembaga. Kearifan adat dipahami sebagai segala sesuatu yang didasari
pengetahuan dan diakui akal serta dianggap baik oleh ketentuan agama. Adat
kebiasaan pada dasarnya teruji secara alamiah dan niscaya bernilai baik, karena
kebiasaan tersebut merupakan tindakan sosial yang berulang-ulang dan mengalami
penguatan (reinforcement). Apabila
suatu tindakan tidak dianggap baik oleh masyarakat maka ia tidak akan mengalami
penguatan secara terus-menerus. Pergerakan secara alamiah terjadi secara
sukarela karena dianggap baik atau mengandung kebaikan. Adat yang tidak baik
akan hanya terjadi apabila terjadi pemaksaan oleh penguasa. Bila demikian maka
ia tidak tumbuh secara alamiah tetapi dipaksakan. Secara filosofis, kearifan
lokal dapat diartikan sebagai sistem pengetahuan masyarakat lokal/pribumi (indigenous knowledge systems) yang
bersifat empirik dan pragmatis. Bersifat empirik karena hasil olahan masyarakat
secara lokal berangkat dari fakta-fakta yang terjadi di sekeliling kehidupan
mereka.
Bertujuan pragmatis karena
seluruh konsep yang terbangun sebagai hasil olah pikir dalam sistem pengetahuan
itu bertujuan untuk pemecahan masalah sehari-hari (daily problem solving).Kearifan lokal merupakan sesuatu yang
berkaitan secara spesifik dengan budaya tertentu (budaya lokal) dan
mencerminkan cara hidup suatu masyarakat tertentu (masyarakat lokal). Dengan
kata lain, kearifan lokal bersemayam pada budaya lokal (local culture).
Budaya lokal (juga sering
disebut budaya daerah) merupakan istilah yang biasanya digunakan untuk
membedakan suatu budaya dari budaya nasional (Indonesia) dan budaya global.
Budaya lokal adalah budaya yang dimiliki oleh masyarakat yang menempati
lokalitas atau daerah tertentu yang berbeda dari budaya yang dimiliki oleh
masyarakat yang berada di tempat yang lain. Permendagri Nomor 39 Tahun 2007
pasal 1 mendefinisikan budaya daerah sebagai “suatu sistem nilai yang dianut
oleh komunitas atau kelompok masyarakat tertentu di daerah, yang diyakini akan
dapat memenuhi harapan-harapan warga masyarakatnya dan di dalamnya terdapat
nilai-nilai, sikap tatacara masyarakat yang diyakini dapat memenuhi kebutuhan
warga masyaraknya.
Di Indonesia istilah budaya
lokal juga sering disepadankan dengan budaya etnik/subetnik. Setiap bangsa,
etnik, dan sub etnik memiliki kebudayaan yang mencakup tujuh unsur, yaitu:
bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan
teknologi, sistem mata pencaharian, sistem religi, dan kesenian. Secara umum,
kearifan lokal (dalam situs Departemen Sosial RI) dianggap pandangan hidup dan
ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang
dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan
kebutuhan mereka.
Dengan pengertian-pengertian
tersebut, kearifan lokal bukan sekedar nilai tradisi atau ciri lokalitas semata
melainkan nilai tradisi yang mempunyai daya-guna untuk mewujudkan harapan atau
nilai-nilai kemapanan yang juga secara universal yang didamba-dambakan oleh manusia. Dari definisi-definisi itu, kita dapat
memahami bahwa kearifan lokal adalah pengetahuan yang dikembangkan oleh para
leluhur dalam mensiasati lingkungan hidup sekitar mereka, menjadikan
pengetahuan itu sebagai bagian dari budaya dan memperkenalkan serta meneruskan
itu dari generasi ke generasi. Beberapa bentuk pengetahuan tradisional itu
muncul lewat cerita-cerita, legenda-legenda, nyanyian-nyanyian, ritual-ritual,
dan juga aturan atau hukum setempat. Kearifan lokal menjadi penting dan
bermanfaat hanya ketika masyarakat lokal yang mewarisi sistem pengetahuan itu
mau menerima dan mengklaim hal itu sebagai bagian dari kehidupan mereka. Dengan
cara itulah, kearifan lokal dapat disebut sebagai jiwa dari budaya lokal.
Jenis-jenis
kearifan lokal, antara lain;
1. Tata kelola,berkaitan dengan
kemasyarakatan yang mengatur kelompok sosial (kades).
2. Nilai-nilai adat,
tata nilai yang dikembangkan masyarakat tradisional yang mengatur etika.
3. Tata cara dan
prosedur, bercocok tanam sesuai dengan waktunya untuk melestarikan alam.
4. Pemilihan tempat
dan ruangan
Sementara Moendardjito (dalamAyatrohaedi, 1986:40 ‑41), mengatakan
bahwa unsur budaya daerah potensial sebagai local genius karena telah
teruji kemampuannya untuk bertahan sampai sekarang.
C.
KERANGKA BERPIKIR
Sengketa tanah bukan
sekadar insiden, tapi (lagi
- lagi)
tragedi. Celakanya, tragedi semacam ini bukan hanya sekali-dua, tapi
berulang-ulang seakan tak ada bosannya. Tragedi ini pun semakin menambah
panjang daftar korban Masalah dari berbagai kasus yang bersumberkan sengketa
tanah (agraria) di Indonesia. Sengketa tanah dan sumber-sumber agraria pada
umumnya sepertinya merupakan konflik laten. Dari berbagai kasus yang terjadi,
bangkit dan menajamnya sengketa tanah tidaklah terjadi seketika, namun tumbuh
dan terbentuk dari benih-benih yang sekian lama memang telah terendap. Pihak-pihak
yang bersengketa pun sebagian besar kalaupun tidak bisa disebut, hampir
seluruhnya bukan hanya individual, namun melibatkan tataran komunal.
Keterlibatan secara komunal inilah yang memungkinkan sengketa tanah merebak
menjadi kerusuhan massal yang menelan banyak korban. Tatkala kerusuhan meledak,
rakyatlah yang kerap menanggung akibat yang paling berat. Banyak masalah
sengketa tanah yang sudah di limpahkan atau disesaikan di pengadilan negeri
namun belum menjamin akan kepuasan dari pihak – pihak yang bersengketa tanah
karena ada pihak yang merasa tidak adil dan merasa di rugikan oleh putusan
pengadilan yang sudah ada sehingga terjadi kerusuhan mengenai masalah sengketa
tanah. Oleh karena itu banyak pihak –
pihak yang mengalami sengketa tanah menempu jalur alternatif yaitu penyelesaian
sengketa tanah di luar pengadilan. Mengingat bahwa
Indonesia adalah Negara yang kaya akan budaya dan adat istiadat pada daerah masing-masing,
penyelesaian sengketa tanah lebih tepat jika menggunakan model-model
penyelesaian yang disesuaikan dengan kondisi wilayah serta budaya setempat.
Penyelesaian sengketa tanah tersebut
dilakukan atas inisiatif penuh dari masyarakat bawah yang masih memegang teguh
adat lokal serta sadar akan pentingnya budaya lokal dalam menjaga dan menjamin
keutuhan masyarakat.
Kearifan lokal
adalah sumber kesadaran hukum dengan hukum itu mempunyai kaitan yang erat
sekali. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat
maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk
budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup.
Meski pun berasal dari daerah lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya
sangat universal yang dipahami sebagai gagasan-gagasan, nilai-nilai,
pandangan-pandangan setempat yang
bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti
oleh anggota masyarakatnya sehingga walaupun pemahaman modern selalu mengandalkan hukum formal dan
menganggap kearifan-kearifan lokal hanya alternatif tetapi sebagian besar
masyarakat desa menggunakan kerifan lokal yang utama dan efektif sebagai
langkah penyelesaian sengketa tanah yang terjadi. kearifan
lokal menjadi penting dan bermanfaat hanya ketika masyarakat lokal yang
mewarisi sistem pengetahuan itu mau menerima dan mengklaim hal itu sebagai
bagian dari kehidupan mereka (Anamofa 2010:1-3). Adapun Dengan cara itulah, kearifan
lokal dapat disebut sebagai jiwa dari budaya lokal. Hal itu dapat dilihat dari
ekspresi kearifan lokal dalam kehidupan setiap hari karena telah
terinternalisasi dengan sangat baik. Tiap bagian dari kehidupan masyarakat
lokal diarahkan secara arif berdasarkan sistem pengetahuan mereka, dimana tidak
hanya bermanfaat dalam aktifitas keseharian dan interaksi dengan sesama saja,
tetapi juga dalam situasi-situasi yang tidak terduga seperti bencana yang
datang tiba-tiba yang salah satunya adalah masalah sengketa tanah yangterjadi dalam masyarakat. Adapun bentuk – bentuk kearifan
lokal yang yang terkandung di dalamnya yaitu: nilai dan norma, etika,
kepercayaan, adat – istiadat, dan hukum adat.
Untuk lebih jelasnya kerangka pikir dalam penelitian
ini, dapat dilihat pada skema berikut!
SKEMA KERANGKA BERPIKIR
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian
Lokasi
penelitian akan dilakukan di Desa Kalembu Ndara Mane Kecamatan Wewewa Timur
Kabupaten Sumba Barat Daya yang sesuai dengan judul penelitian yang diangkat
oleh peneliti yakni mengenai penyelesaian sengketa tanah berbasis kearifan
lokal.
B. Pendekatan dan Fokus Penelitian
Pendekatan
yang dilakukan adalah fenomologis yaitu berusaha memahami cara penyelesaian
sengketa tanah berbasis kearifan lokal. Peneliti akan melihat masalah yang
terkait dengan penyelesaian sengketa
dalam masyarakat. Fokus penelitian adalah penyelasaian sengketa tanah
berbasis kearifan lokal di Desa Kalembu Ndara Mane Kecamatan Wewewa Timur
Kabupaten Sumba Barat Daya.
C. Jenis penelitian
Penelitian ini
adalah penelitian Kualitatif dengan menggunakan model deskriptif yaitu meneliti
suatu objek dengan menghimpun, menggambarkan dan menganalisis data-data dan
fakta yang diamati.Penelitian akan dilakukan di Desa Kalembu Ndara Mane
Kecamatan Wewewa Timur Kabupaten Sumba Barat Daya.
D. Teknik Pengumpulan Data
Untuk
mengumpulkan data dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik-teknik
sebagai berikut:
1. Wawancara
Secara Mendalam
Wawancara
adalah percakapan dengan maksud tertentu. Dalam hal ini Percakapan itu
dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara
yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara yang memberikan memberikan jawaban atas pertanyaan itu dan
merupakan proses untuk mendapatkan
informasi untuk kepentingan penelitian dengan cara dialog antara peneliti
sebagai pewawancara dengan informan atau yang memberi informasi untuk mendapatkan data yang akurat dan kongkrit.
Wawancara ini merupakan suatu teknik pengumpulan data untuk mendapatkan
infofmasi yang digali dari sumber data langsung melalui percakapan atau tanya
jawab. Wawancara dalam penelitian kualitatif sifatnya mendalam karena ingin
menggali informasi secara langsung dan jelas dari informan.
2. Observasi
yaitu mengadakan pengamatan langsung dilokasi penelitian untuk mengetahui
gambaran umum lokasi penelitian dan deskripsi permasalahan.
3. Studi
kepustakaan yaitu peneliti mencari literature-literatur dan data yang
diperlukan untuk menjawab masalah penelitian yang berkaitan dengan penyelesaian
sengketa dalam masyarakat. Teknik ini kemudian membantu peneliti didalam
penelusuri pembahasan melalui tulisan-tulisan yang telah ada sebelumnya tentang
implementashgfi kerukunan bersama dalam masyarakat dalam penyelesaian sengketa
berbasis kearifan lokal.
E. Jenis dan Sumber
Data
1. Jenis Data
a. Data
primer: data yang diperoleh secara langsung dari informan melalui wawancara
atau interview serta pengamatan langsung, seperti penyelesaian sengketa
tanah yang terjadi diluar pengadilan, sebab – sebabnya dan
penyelesaiannya. Sumber utama melalui catatan terulis, melalui rekaman atau
pengambilan foto.
b. Data
sekunder : data yang diperlukan untuk melengkapi data - data primer yang
diperoleh dengan membaca literatur-literatur atau sumber lainnya yang
berhubungan dengan subtansi penelitian ini dan selain itu dapat juga melihat
situs-situs atau website yang diakses untuk memperoleh data yang lebih akurat.
Data sekunder ini dimaksudkan sebagai data-data penunjang untuk dapat
melengkapi hasil penelitian ini, seperti pendidikan, kesehatan, lingkungan dan
sebagainya.
2.
Sumber Data.
Sumber data
dalam penelitian ini adalah informan yang ditentukan secara purposive sampling (sampel bertujuan),
yaitu orang-orang yang bersengketa tanah, orang-orang yang terlibat dalam
penyesesaian sengketa tanah, penengah (mediator), tokoh agama, tokoh adat, dan
tokoh pemuda yang ada di Desa Kalembu Ndara Mane Kecamatan Wewewa Timur
Kabupaten Sumba Barat Daya. Teknik pengambilan data dalam penelitian ini ialah
dengan menggunakan teknik snowbaal
sampling.
F. Teknik Analisis Data
Penelitian ini
merupakan penelitian deskriptif kualitatif
dengan tujuan memberikan gambaran mengenai situasi dengan menggunakan
analisis kualitatif. Data yang telah dikumpulkan baik data primer maupun sekunder
yang diperoleh dari lapangan yang akan dieksplorasi secara mendalam, selanjutnya
akan menghasilkan suatu kesimpulan yang menjelaskan masalah yang akan diamati.
Didalam
penelitian ini data yang telah dikumpulkan akan dianalisis secara deskriptif
kualitatif yakni data yang diperoleh akan dianalisis dalam bentuk kata-kata
lisan maupun tulisan. Teknik ini bertujuan untuk memperoleh gambaran yang umum
dan menyeluruh dari obyek penelitian. Serta hasil-hasil penelitian baik dari
hasil studi lapangan maupun studi literature untuk kemudian memperjelas
gambaran hasil penelitian
G.
Jadwal
Penelitian
No
Jenis kegiatan
|
Lama kegiatan
|
1. Tahap persiapan proposal
|
2 minggu
|
2. Tahap pengumpulan data
|
2 minggu
|
3. Tahap analisis dan pengolahan data
|
2 minggu
|
4 Tahap penulisan laporan
|
2 minggu
|
Jumlah
|
8
Minggu
|
H. Biaya Penelitian
No
|
Tahap – Tahap
|
Jumlah Biaya
|
1
|
Tahap Persiapan
|
|
a.
Penyusunan proposal
penelitian
|
Rp. 100.000
|
|
b.
Konsultasi
|
Rp. 200.000
|
|
c.
Seminar
|
Rp. 250.000
|
|
d.
Pembuatan instrumen
penelitian
|
Rp. 50. 000
|
|
e.
Izin penelitian
|
Rp. 75. 000
|
|
2
|
Tahap Pelaksanaan
|
|
Melaksanakan Penelitian
|
Rp. 800. 000
|
|
3
|
Tahap penyusunan laporan
|
|
a.
Menyusun laporan
penelitian
|
Rp. 200.000
|
|
b.
Ujian hasil
penelitian
|
Rp. 350. 000
|
|
c.
Perbaikan laporan
|
Rp. 150. 000
|
|
d.Laporan
penelitian
|
Rp. 200.000
|
|
Jumlah
|
Rp. 2.375.000
|
Personalia Peneliti
1.
Peneliti
Nama : Anderias Lende
NIM : 0901070416
2. Pembimbing
I
Nama : Drs.
S. Bully, M.si
NIP : 1956952985031004.
3. Pembimbing
II
Nama : Drs.
L. Lobo, M.Kes
NIP :
195912311987021005
DAFTAR PUSTAKA
Akmar, A.M. dan syarifudin 2007. Pengertian kearifan lokal. dalam http://kubuskecil blogspot.com/ di akses pada tanggal 12/05/2014
Anamofa, N. 2010. Kearifan Lokal Guna Pemecahan Masalah., hhttp://tal4mbur4ng.blogspot.com/https://plus.google.com.diakses
padatanggal 21/05/2014
Ayatrohaedi.1986. Pemulihan lingkungan dengan kearifan lokal.,dalam. http://pangasuhbumi.com/article/20582. di akses pada tanggal 21/05/2014.
Emirzon, J.2001. Alternatif
Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi &
Albitrase). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Gobyah, I ketut. 2012. Berpijak pada Kearifan Lokal dalam ( http://www.balipos.co.id., diakses 21/05/2014 )
Justice for the Poor. 2009. Menemukan
Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non‐ negara di Indonesia, Jakarta: Bank Dunia.
(http://id.shvoong.com/writing-and-speaking/presenting/2221016-penyelesaian-sengketa-berbasis-kearifan-lokal/). Diakses
21 mei 2014
Kale, D. 2013. Implementasi
Kerukunan Bersama dalam Masyarakat untuk Penyelesaian Sengketa Berbasis Kearifan.
Skripsi. Kupang. UNDANA.
Kamus Bahasa Indonesia, 2010. Jakarta : PT Multasan Mulia Utama.
Koesnoe, 1992. Hukum Adat Sebagai Suatu Model Hukum Bag. I
(Historis) Bandung : Mandar Maju
Mukeri, M. 2013. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Hak Atas
Tanah Melalui Mediasi Di Pengadilan dalam http://mahyunish.blogspot.com/. Diakses tanggal 21 mei 2014; 17:21
PM.
Miall, H. Dkk.
2000. Resolusi Damai Konflik Kontemporer.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Murad,
R. 2000. Dalam loka karya"Mediasi, Solusi Tepat Penyelesaian
Masalah Pertanahan di Propinsi Jawa Tengah". Semarang Jawa Tengah.
Moertopo, A. 1978. Strategi Pembangunan
Indonesia, CSIS, Jakarta : Bina Aksara.
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat
Pertama Menerapkan Lembaga Damai.
Peursen,
V. 1976,
Strategi Kebudayaan, Kanisius, Yogyakarta.
Pide, S. M. 2012. “Proses Penyelesaian Sengketa Pertanahan Berbasi Nilai- Nilai Kearifan Lokal”http://repository.unhas.ac.id/handle/123456789/7419.
Diakses 21/05/2014.
Suartana,
I Ketut. 2012, berbagi file :“makalah sengketa tanah”
http//.google.com. Diberdayakan oleh Blogger. Diakses 21 mei
2014.
Sumardjono, S.W. M. 2001. Kebijakan pertanahan (antara regulasi dan implementsi.
Jakarta : kompas
Sunirdia dan widiayanti.1988. Pembaharuan hukum agrarian (beberapa pemikiran). Jakarta : Bina
Aksara.
Swarsi, S. 2011. Geriya dalam “Menggali Kearifan Lokal untuk Ajeg Bali” dalam lun di http://www.balipos.co.id, di akses pada tanggal 21/05/2014,
Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1960. tentang, Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria.
Undang - Undang Nomor 30 tahun 1999.
tentang, Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Undang - Undang
Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004.
tentang, Kekuasaan Kehakiman.
Usman, Rachmadi.
2003. Pilihan Penyelesaian Sengketa di
Luar Pengadialan. Bandung: Penerbit P.T Citra Aditya Bakti
Waty, L. 2013. Penjelasan tentang kerifan lokal http://blogssspot.com/2013/mitos-mitos
tentang kearifan lokal-html. diakses pada tanggal 21/ mei 2014.